JAKARTA, SUARADEWAN.com – Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mendesak pemerintah untuk memperbaiki regulasi atau peraturan mengenai toko ritel modern di Indonesia, permintaan ini menyusul penutupan seluruh gerai 7-Eleven yang dikelola PT Modern Sevel Indonesia (MSI) per 30 Juni 2017.
Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey mengungkapkan penghentian operasional sekitar 168 gerai 7-Eleven perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Lantaran kondisi ini menunjukkan data-data ekonomi makro yang disebut-sebut membaik, justru berbanding terbalik dengan perkembangan sector riil Indonesia.
“Tutupnya gerai 7-Eleven harus diperhatikan pemerintah, ini waralaba asing. Begitu asing keluar, investor atau pelaku pasar akan membaca, kok data makro bagus tapi di hilir atau riilnya jelek,” tegas Roy (Jum’at, 30/6).
Investor, Roy mengakui, juga akan mempertanyakan mengenai predikat layak investasi atau investment grade Indonesia dari tiga lembaga pemeringkat dunia. Terakhir, Standars & Poor’s menaikkan rating Indonesia menjadi investment grade.
“Walaupun dapat investmen grade, tapi kalau ternyata ada yang failed atau bangkrut begini, apakah benar pengakuan investment grade sesuai kenyataan. Apalagi pemerintah lagi menggenjot investasi, jadi multiplier effectnya harus diperhatikan,” ujar dia.
Roy merasa sangat Ironis dengan keadaan yang menimpa 7-Eleven. Waralaba asal Amerika Serikat (AS) Berjaya mengembangkan sayap atau ekspansi. Sementara di Indonesia, langkah 7-Eleven justru harus terhenti.
“7-Eleven masuk world wide company yang sudah berusia 90 tahun. Sudah mendunia, gerainya dimana-mana. Kalau di Asia, pusatnya ada di Jepang. Di Dunia, 7-Eleven ritel yang tumbuh dan berkembang, layaknya Starbucks, tapi di Indonesia malah mati, ini yang jadi pertanyaan,” ujar dia.
Untuk diketahui, 7-Eleven adalah jaringan convenience store 24 jam asal Amerika Serikat. Sejak 2005, kepemilikannya dipegang Seven & I Holdings co, sebuah perusahaan Jepang, gerai 7-Eleven sudah mencapai lebih dari 26 ribu toko di 18 negara, berdasarkan data 2004.
Roy mengungkapkan, tumbangnya 7-Eleven karena peraturan mengenai toko ritel modern tak kunjung direvisi.
“Kita intinya sangat mendukung dan setuju menjaga substansi dari regulasi ini bahwa format minimarket dengan luas kurang dari 400 meter, hanya untuk peritel lokal,” ujar Roy.
“Tapi ketika datang waralaba asing seperti 7-Eleven, sudah audiensi dengan kementerian terkait sejak 2012, bolak-balik sampai dapat surat teguran,mereka minta aturan itu direvisilah. Bahwa format minimarket kurang dari 400 meter, yang mendatangkan teknologi baru, memiliki bisnis model pertama di Indonesia, ya dikasih kesempatanlah,” tambahnya.
Namun, hingga saat ini, kata Roy, usulan tersebut belum direspons oleh pemerintah. (ELH)