SUARADEWAN.com – Greenpeace Indonesia mengkritik pemerintah terkait Perpu Cipta Kerja, karena menurutnya perpu itu tidak tegas dalam memberikan sanki terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak mengindahkan aturan kehutanan. Sanki administratif dianggap tidak relevan untuk perusahaan yang sudah kelewat batas, merusak hutan.
Sebagaimana laporan @majalah.tempo, ada 8.400 hektare hutan di Konawe Utara-termasuk di dalamnya hutan lindung-hilang karena penambangan nikel ilegal sepanjang 2019-2022. Kerabat pejabat diduga terafiliasi dengan perusahaan yang menambang secara ilegal. Bisnis ini ditengarai dibeking aparat.
Kerusakan, yang tak hanya berakibat pada semakin kurangnya oksigen, karena banyak hutan yang gundul akibat penambangan tersebut, tetapi juga berdampak pada laut. Menurut Greenpeace, harusnya pemerintah menindak tegas dengan memberikan sanki pidana kepada perusahaan yang terlibat.
“Pemerintah mestinya menindak tegas praktik ugal-ugalan ini. Tapi sayangnya, Perpu Cipta Kerja justru mengedepankan sanksi administratif ketimbang pidana untuk perusahaan yang melanggar aturan kehutanan semacam itu,” ujar Greenpeace di instagramnya @greenpeaceid, Kamis (26/1/23).
“Bukan cuma hutan yang hilang, laut pun ikut tercemar. Lumpur nikel dan tongkang menyulitkan nelayan untuk mencari ikan. Banyak debu dan udara kotor saat kemarau, banjir lumpur melanda saat hujan,” sambung Greenpeace.
Greenpeace menduga, penambangan nikel ini akan terus meningkat. Hal itu, kata Greenpeace, disebabkan ambisi pemerintahan Jokowi yang getol jualan mobil listrik.
“Penambangan nikel akan terus meningkat seiring ambisi pemerintahan @jokowi yang getol jualan mobil listrik. Tapi jika tidak dikelola serius dan berkelanjutan, investasi ini tidak akan sepadan. Sebab eksploitasi SDA yang ugal-ugalan akan merusak lingkungan dan merugikan kita dalam jangka panjang,” ujarnya.