SUARADEWAN.com – Starbucks boleh dibilang adalah salah satu dari sedikit koorporasi global yang kerap mendapat aksi boikot dari konsumen atau mereka yang mengaku konsumen. Penyebabnya adalah pernyataan petingginya yang dinilai kontroversial.
Baru-baru ini Gerakan boikot Starbucks di Indonesia yang dimotori Muhammadiyah menjadi sorotan internasional. Apalagi gerakan itu mendapat dukungan dari kelompok Muslim berpengaruh di Malaysia. NBC News dalam artikelnya menulis judul, ‘Muslim Groups in Malaysia, Indonesia Boycott Starbucks Over LGBTQ Support.’
NBC News yang mengutip kantor berita Reuters dalam paragraf pertamanya menggambarkan bagaimana, kelompok Muslim di Malaysia bergabung dengan organisasi konservatif Muslim di Indonesia (Muhammadiyah) memboikot Starbucks. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk protes atas sikap gerai kopi internasional itu mendukung hak-hak gay.
Organisasi Muslim Malaysia yang bergabung dengan Muhammadiyah adalah Perkasa. Kelompok yang mempunyai 700 ribu anggota itu setuju dengan langkah Muhammadiyah memboikot Starbucks yang mendukung LGBT. Perkasa juga setuju izin Starbucks dicabut.
Apakah dampak dari aksi-aksi boikot yang kerap dialami starbucks? Ada kalanya Starbucks menang, tetapi ada kalanya korporasi ini kalah menghadapi ajakan boikot via media sosial tersebut.
Awal tahun ini ketika Presiden Donald Trump membuat kebijakan mencegah imigrasi pengungsi dan pekerja dari enam negara muslim, CEO Starbucks Howard Schultz malah menawarkan peluang pekerjaan sebanyak 10.000 bagi para calon pengungsi. Sontak public Amerika Serikat yang pro terhadap kebijakan Trump bereaksi. Mereka mengampanyekan boikot produk Starbucks melalui media Sosial.
Pendukung Trump mempertanyakan pernyataan Schultz yang memprioritaskan pekerja asing dibandingkan dengan memberikan peluang kepada ribuan veteran yang disebutkan tidak sedikit menyandang tunawisma.
Seram! Begitulah komentar yang mungkin muncul dari kita ketika membaca beberapa akun media sosial para pengecam. Tidak hanya itu, mereka juga mengejek Starbucks dengan mengubah-ubah logo hingga menjadi bahan lelucon.
Aksi boikot ini bukanlah aksi pertama kali di AS dan Inggris. Setidaknya sejak tahun 2012 gerakaan boikot Starbucks kerap dilakukan dengan berbagai isu, seperti LGBT, perdagangan yang lebih adil, seragam karyawan, dan kemasan minuman berwarna merah yang diartikan perang terhadap Trump. Sejak tahun itu hingga 2017 ini ada delapan aksi boikot terhadap Starbucks.
Seorang analis membuat perhitungan dampak dari tujuh aksi boikot, tidak termasuk aksi boikot awal tahun ini dan baru-baru ini, terhadap harga saham Starbucks. Saham Starbucks malah naik seusai enam aksi boikot dan sekali saham perusahaan ini turun.