JAKARTA, SUARADEWAN.com – Dalam pidatonya di peringatan hari lahir Nahdlatul Ulama ke-91, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyinggung soal demonstrasi yang berlangsung siang tadi di Jakarta, Sabtu (11/2/2017).
Tak hanya menyinggung aksi 112, dia juga menyinggung demonstrasi 411 dan 212 yang sebelumnya sudah terselenggara dan konsep dan wujud yang sama. Meski aksi dikemas dalam doa bersama, selaku ulama NU, dirinya memilih untuk tidak menghadiri.
“Saya menolak demonstrasi, bukannya saya membela Ahok. Saya enggak kenal dengan Ahok. Silahkan demo, tapi saya tidak. Saya tahu siap orang yang mengerahkan demo dan tujuannya apa, saya tahu,” katanya di hadapan ratusan nahdliyin yang sekaligus memperingati haul KH. Abdul Qadir Hasan (Guru Tuha) ke-40 di Universitas Ulama, Kecataman Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Dalam pidatonya, Said Aqil juga mengaskan bahwa aksi demonstrasi yang berlangsung di Jakarta itu tidak hanya bertujuan menjatuhkan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, melainkan sekaligus sebagai upaya membenturkan ideologi Islam moderat dan Islam radikal. Inilah yang menurutnya sebagai kepentingan lain yang lebih besar yang harus sama-sama diwaspadai.
“Bukan masalah Ahok saja, tapi membenturkan Islam moderat dan Islam radikal. Ini perang ideologi. NU sebagai organisasi yang ahlus Sunnah wal jamaah (aswaja) memegang dua amanat yang utama, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah,” terang Said mengingatkan.
Itu sebabnya, menurut Said, NU harus berperan konstruktif di tengah masyarakat. Bahwa NU harus mengusung semangat Islam moderat. Memang, nilainya, tak gampang mengusung misi NU di tengah pluralitas keagamaan yang ada. Ini membutuhkan kecerdasan intelektual dan ilmu keagamaan yang mumpuni.
“Harus cerdas dan berilmu,” sambungnya.
Inilah yang menjadi pembeda NU yang memiliki semangat Islam moderat dengan ormas lainny yang radikal dan ekstremis.
“Kalau ekstrem kanan enggak perlu cerdas, cukup celana cingkrang, jenggot panjang, dan jidat hitam. Kalau ekstrim kiri itu agama urusan pribadi tidak perlu dimasyarakatkan, jangan ajak orang lain memeluk agama. Keduanya enggak perlu sekolah, enggak perlu pinter,” lanjut Said. (ms)