JAKARTA, SUARADEWAN.com – Pasca Muammad Qaddafi dikudeta dengan menggunakan isu agama, Libya, negara yang ditinggalkannya, hancur berantakan. Ini Libya menjadi negara gagal, tempat bersarangnya para cecungut-cecungut teroris.
Pun begitu dengan yang terjadi Irak. Hampir setiap minggu Irak dilanda minimal satu kali bom bunuh diri. Itu terjadi tidak hanya di pusat-pusat keramaian kota, tapi juga terjadi di tempat-tempat suci ibadah.
Lalu hari ini, Suriah mendapat kesempatan yang tak lebih sama-sama buruknya. Begitu banyak nyawa yang sudah melayang di negeri ini. Tak sedikit bangunan yang dulunya indah, kini tak ubahnya sampah tak terpakai, hancur berantakan.
Belajar dari negeri-negeri tersebut, terutama pada Suriah, kita lantas menjadi paham bahwa keberagaman itu sangat mahal harganya. Kita menjadi paham bahwa isu agama hanya akan membawa malapetaka besar bagi kehidupan bangsa kita. Isu agama, belajar dari Suriah, wabah ini yang mesti kita waspadai secara bersama-sama.
Mereka (Libya, Irak, dan Suriah) mungkin dulu awalnya seperti kita. Persis seperti kita yang ada di Indonesia sekarang ini. Duduk sambil minum kopi atau teh setiap sore hari, sembari ngobrol-ngobrol politik. Itulah kebiasan-kebiasaan mereka yang ada di Timur Tengah.
Ya, kehidupan mereka sangat biasa, layaknya kehidupan normal. Tidak ada yang mengira bahwa semua itu bisa berubah 180 derajat. Sebab hanya satu: membiarkan isu agama mengalir deras begitu saja.
Untuk itu, sebelum terlambat lebih jauh, kita patut merenungi nesehat dari Abah. Beliau berpesan begini:
Anakku, jangan pernah percaya dengan siapapun yang membawa jargon agama untuk saling membenci orang yang berbeda paham. Ingat, agama tidak mengajarkan kebencian tapi kasih sayang.
Kita tak ingin bernasib sama dengan yang terjadi sekarang di Suriah. Syukuri kemerdekaan ini dengan hidup damai. Itulah wujud rasa terima kasih kita kepada pejuang kemerdekaan negeri ini.
Sembari berpesan, tak lupa kutip nasehat dari sahabat Ali bin Abi Thalib: “Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”
Surga itu diperuntukan untuk manusia-manusia yang mencintai saudaranya dan manusia yang mau menjaga perdamaian dan persaudaraan. Agama bukan untuk membenci, karena puncak dari agama sendiri adalah cinta.
Anakku, mari kita jaga apa yang sudah ada, apa yang sudah diperjuangkan, apa yang sudah diajarkan oleh pendahulu-pendahulu kita. Kita bisa menikmati apa yang ada karena dulu pendahulu kita saling asah dan saling asuh.
Mereka adalah orang yang sudah mengajarkan kita untuk menebar sikap belas kasih kepada siapa pun tanpa memandang apa pun, tidak bersekat-sekat. Seperti juga telah dicontohkan langsung Sang Maha Rahim.
Anakku, Sang Maha Rahim selalu membagi cahaya matahari kepada siapa saja, kepada setiap makhluk di bumi. Demikian pula yang kita upayakan untuk bisa hidup bersama dalam keberagaman kita. (ms)