JAKARTA, SUARADEWAN.com – Mahkamah Konstitusi mengabulkan sepenuhnya uji materi terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam putusan tersebut, hakim konstitusi menghapus frasa memiliki istri dan anak pada daftar syarat pengajuan calon gubernur Yogyakarta.
Selama ini, frasa dalam pasal tersebut menjadi kunci yang tak memungkinkan seorang perempuan diangkat sebagai gubernur di provinsi tersebut.
Sebelas orang dari berbagai latar profesi mengajukan uji materi terhadap undang-undang tersebut sejak, 1 Juni 2016. Mereka adalah aktivis perempuan, pegiat anti diskriminasi, perangkat desa, pengacara, dan abdi dalem Keraton Ngayogyakarta. Mereka berdalil pasal persyaratan tersebut secara eksplisit hanya memperbolehkan lelaki untuk menjabat sebagai sultan dan gubernur Yogyakarta.
Pasal 18 ayat (1) huruf m berbunyi, “Calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Indonesia yang harus memenuhi syarat; menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak.”
Baca juga: Kini, Calon Kepala Desa Tidak Harus Lagi Dari Daerah Setempat
“Terlepas dari ada tidaknya persoalan diskriminasi (pada perempuan), bagi mahkamah sudah jelas keberadaan pasal tersebut telah menyimpang secara logis dan historis terhadap amanat keistimewaan dari konstitusi,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, Kamis, 31 Agustus 2017.
Dalam pertimbangan, Mahkamah Konstitusi mengatakan, salah satu alasan penghapusan seluruh pasal tersebut karena menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan dalam sistem monarki di Yogyakarta. Menurut mahkamah, keberadaan pasal itu juga bertentangan dengan asas hukum keistimewaan Yogyakarta yang secara jelas menyebutkan gubernur Yogyakarta dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono sedangkan wakil gubernur oleh Adipati Paku Alam.
“Karena keistimewaan, negara sendiri tak bisa mengintervensi pemilihan sultan dan adipati. Aturan tersebut justru akan menghambat Sultan dan Adipati yang telah dinobatkan untuk segera menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur,” kata Arief.
Isu suksesi kesultanan Yogyakarta kepada perempuan mulai mencuat saat Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Dawuh Raja pada 30 April 2015. Sejumlah pihak menilai sultan mengubah sejumlah hal untuk mempersiapkan putri sulungnya Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi untuk memimpin Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan HB X menghilangkan gelar khalifatullah dan mengubah gelar Buwono menjadi Bawono.
Selain itu, Sultan HB X juga menyempurnakan dua keris pusaka legitimasi Raja Yogyakarta yaitu Kanjeng Kyai Kopek dan Kanjeng Kyai Joko Piturun. Seluruh langkah ini semakin menguat saat mengeluarkan titah pemberian gelar putri raja kepada GKR Mangkubumi pada 5 Mei 2015. (TEM)