Sorot  

Catatan Omnibus Law: Kapitalistik, Terburu-buru, Hingga Menggerogoti Demokrasi

JAKARTA, SUARADEWAN.com — RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang tengah digodok pemerintah dinilai kapitalistik dan telah merusak tatanan demokrasi dan terburu-buru. Bahkan, penerapan Omnibus Law juga ditolak di beberapa negara lain.

Pengamat politik dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Andi Syafrani menilai perumusan Omnibus Law dibawah komando Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian itu tidak demokratis sebab dilakukan secara tertutup dan terburu-buru.

“Omnibus Law ini dapat menggerogoti proses demokrasi, ini yang penting. Karena tadi proses legislasi yang tidak melibatkan banyak publik yang dikejar waktu karena target padahal bacaannya banyak, akibatnya adalah proses dialogis rakyat kemudian wakil rakyat yang mendapat mandat rakyat untuk membuat uu ini menjadi terpinggirkan,” kata Andi di Jakarta, Jumat (22/2/2020).

Dia juga menyebut konsep omnibus law yang membuat aturan baru untuk menggantikan aturan lain yang sudah berlaku itu sudah dihindari di berbagai negara, karena jauh dari prinsip demokrasi.

“Makanya di beberapa negara sangat hati-hati mau pake ini. Bahkan mereka sudah meninggalkan New Zealand, Inggris, dan kemudian Vietnam,” ucapnya.

Menurutnya, di negara-negara tersebut Omnibus Law hanya digunakan untuk undang-undang yang berkaitan dengan aturan keuangan dan teknikal.

“Ini (Omnibus Law di Indonesia) teknikal tapi menerabas aspek aspek yang fundamental seperti kebebasan sipil misalnya, keamanan, administrasi pemerintahan atau seterusnya, pers juga dimasukin sebagai bagian yang dianggap mengganggu investasi,” tegasnya.

Sementara itu, Kelompok gabungan berbagai organisasi masyarakat sipil, Fraksi Rakyat Indonesia (FRI), memandang proses penyusunan dan substansi draf Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) mematikan demokrasi. Selain politik, sisi ekonomi, ekologi, dan tatanan hukum juga terabaikan.

Perwakilan FRI, Nining Elitos, menyatakan bahwa Omnibus Law RUU Ciptaker lahir dari kebijakan politik negara yang mengabaikan kedaulatan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi.

“(Omnibus Law RUU Ciptaker) mematikan demokrasi politik, ekonomi, ekologi, dan rule of law. RUU Ciptaker lahir karena sistem politik di Indonesia mengabdi kepada kepentingan oligarki (alias) sistem politik yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi menghasilkan kepemimpinan abai terhadap rakyat,” ucap Nining dalam keterangan pers yang diterima, Jumat (21/2).

Dia menyatakan bahwa Omnibus Law RUU Ciptaker lebih mencerminkan kepentingan bisnis dibandingkan kepentingan rakyat. Menurutnya, kelahiran Omnibus Law RUU Ciptaker didorong menjadi sebuah regulasi yang mengacak-acak sistem demokrasi ekonomi dan lebih bersifat kapitalistik.

Nining berpendapat Omnibus Law RUU Ciptaker berpotensi menimbulkan kerusakan rantai ekologis, ekonomi, dan sosial.

“Tatanan hukum menjadi tidak berarti dengan keberadaan RUU Ciptaker yang membangkang terhadap konstitusi. Padahal, negara hukum mewajibkan tindak tanduk negara untuk selalu didasarkan pada hukum,” ujarnya.

Diketahui, draft RUU Cipta Kerja yang diberikan pemerintah ke DPR pada Rabu (12/2/2020) lalu itu langsung menunai kecaman dari berbagai elemen mulai dari buruh, asosiasi media, hingga masyarakat sipil.

RUU yang terdiri dari 79 Undang-Undang dengan 15 bab dan 174 pasal itu dinilai bermasalah karena terlalu mengutamakan kepentingan pengusaha atas nama investasi dan membuat presiden terlalu sentral dalam pembuatan kebijakan negara. (cs)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90