SUARADEWAN.com – Denny Indrayana mengatakan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menunda Pemilu 2024 cacat hukum.
Kesalahan mendasar dalam putusan PN Jakpus yang dimaksud Denny Indrayana adalah perkara yang diputuskan sebenarnya bukan wilayah hukum yang dimiliki oleh majelis hakim PN Jakpus.
“Setiap pengadillan mempunyai wilayah kerja masing-masing, itu lah yang disebut dengan yurisdiksi, alias kompetensi peradilan. Tidak bisa perkara pidana, disidangkan dalam majelis hukum perdata. Tidak bisa perkara tata usaha negara disidangkan oleh peradilan umum,” jelas Denny Indrayana.
Denny juga mengatakan bahwa Partai Prima telah salah tempat dalam mengajukan perkara tentang ketidaklulusannya dalam verifikasi administrasi. Mantan Guru Besar Tata Negara Universitas Gadjah Mada tersebut mengatakan seharusnya Partai Prima mengajukan banding atas putusan ketidaklulusan tersebut ke Pengadilan Negara Tata Usaha, bukan ke PN Jakpus.
Hal tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU Pemilu Pasal 466-471.
“Apalagi, Partai Prima sebenarnya juga telah melakukan langkah dan gugatan hukum soal kepesertaan pemilunya kepada Bawaslu dan PTUN, yang sudah divonis, dan sudah berkekuatan hukum tetap,” tutur Denny kemudian.
Denny menjelaskan bahwa kepesertaan Partai Prima dalam Pemilu 2024 sebenarnya sudah final dan mengikat, sehingga tidak perlu mengajukan gugatan ke PN Jakpus yang tidak mempunyai kewenangan atas sengketa proses Pemilu.
Sebelumnya, keputusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU untuk mengundurkan jadwal pelaksanaan Pemilu 2024 dan mengulang tahapannya dari awal dikeluarkan pada tanggal 2 Maret 2023.
Majelis hakim dalam sidang perkara sengketa proses Pemilu atas ketidakadilan yang dirasakan Partai Prima tersebut dipimpin oleh T Oyong. Anggota hakim lainnya adalah H Bakri dan Dominggus Silaban.
Selain memerintahkan penundaan Pemilu, ketiga hakim tersebut juga memutuskan bahwa KPU harus membayar kerugian materill sebayak 500 juta kepada Partai Prima. ***