JAKARTA, SUARADEWAN.com – Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (UI), beberapa waktu lalu menyelenggarakan diskusi dan bedah buku karya Kelompok Ahli Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) Sri Yunanto.
Dalam acara bedah buku yang bertema ‘Ancaman dan Strategi Penanggulangan Terorisme di Dunia dan Indonesia’ pada 7 Maret lalu itu, dihadiri oleh mantan Rektor dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riefqi Muna, Direktur Sekolah Stratejik dan Global UI M. Luthfi Yuhdi, dan Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Irjen Polisi (Purn) Benny Mamoto.
Awalnya, acara bedah soal terorisme itu akan menghadirkan narasumber Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir, yang saat ini sedang diperiksa oleh kepolisian terkait penyelewengan dana Yayasan Keadilan untuk Semua, yang diduga digunakan untuk membantu kelompok teroris ISIS. Namun sayangnya yang bersangkutan tidak hadir dalam acara tersebut.
Adapun terkait penyelidikan terhadap Bachtiar Nasir itu, pihak berwenang mengaku sudah memegang bukti transfer dana sebesar Rp. 1 miliar dari Bachtiar Nasir ke Turki, namun masih belum bisa memastikan motif dan peruntukan pengiriman dana berjumlah besar itu ke luar negeri.
Namun menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, berdasarkan informasi dari media internasional yang di Suriah, bahwa bantuan itu ada hubungannya dengan pihak yang terkait dengan kelompok teroris ISIS. “Apa hubungannya bisa sampai ke Suriah? Menurut klaim media internasional yang di Suriah, ini ada hubungannya dengan ISIS,” kata Kapolri saat raker dengan Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu.
Dalam acara bedah buku itu sedianya juga akan menghadirkan pihak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yakni kelompok yang menolak Pancasila dan NKRI serta ingin mendirikan pemerintahan Khilafah Islam di dunia termasuk di Indonesia. Namun juru bicara HTI Ismail Yusanto yang diundang sebagai narsumber, ternyata juga tidak hadir di acara itu.
Menurut keterangan dari panitia pelaksana kegiatan yang juga direktur Sekolah Stratejik dan Global UI M. Luthfi Yuhdi, alasan kedua calon narasumber itu tidak hadir adalah karena digantikan dengan narasumber yang lain sesuai rekomendasi dari otoritas UI.
“Ini kan ada otoritas yang berbeda (UI). Yang undang kan saya, saya juga masih saudara (Ismail Yusanto). Kalau yang undang saya, masak saya yang batalin. Saya yang nelpon dia. Bachtiar Nasir itu kan adek (kelas) saya di Mekkah,” kata Luthfi.
Namun Luthfi menolak untuk menjelaskan lebih jauh tentang alasan rekomendasi penggantian narasumber oleh otoritas UI itu. “Ada hal-hal yang tidak perlu kita ketahui,” imbuhnya.
Ada dua buah buku yang dibedah dalam acara itu, yakni ‘Politik Islam Antara Moderasi dan Radikalisme, dan ‘Ancaman dan Strategi Penanggulangan Terorisme Di Dunia dan Indonesia’.
Menurut penulis buku Sri Yunanto, saat ini Indonesia masih masuk dalam kategori “warna kuning” yang berarti masih berpotensi besar untuk melahirkan anggota-anggota teroris baru, walaupun pihak keamanan sudah sangat ketat dalam memerangi terorisme.
Hal itu tertuang dalam hasil survey yang dilakukan oleh Global Terorisme Index, dan sebagai wilayah kuning, Indonesia menduduki peringkat 33 dengan nilai skor 4.76, yang berada di bawah beberapa negara. Namun masih jauh lebih baik dibandingkan dengan Irak, Afghanistan dan Nigeria. Dan tidak lebih buruk dibandingkan dengan Malaysia, Tunisi dan Ethiopia.
Menurut Sri, persoalan teroris di Indonesia masih ada, dan polanya malah seperti diwariskan. Seperti anggota teroris yang berhasil di lumpuhkan di Solo, yang ternyata merupakan anak dari seorang anggota teroris lama.
“Persoalan teroris di Indonesia, masih ada, bahkan kemunculan nama-nama baru masih berkaitan dengan anggota teroris lama, bahkan ‘warisan’,” kata Sri.
Staf Deputi I BNPT ini menilai bahwa, seluruh agama yang ada di dunia berpotensi untuk memunculkan teroris, namun entah kenapa saat ini hanya islam saja yang diidentikkan dengan terorisme.
“Kenapa sekarang Islam saja yang diidentikkan dengan terorisme, padahal terorisme sebenarnya ada di semua agama, ada unsur motivasi terorisme karena agama, dan itu ada di semua agama,” katanya.
Ia mencontohkan tentang penamaan dan pelabelan ISIS sebagai negara Islam. “Belakangan ini kemudian Islam yang dibawa-bawa. Mbok ISIS jangan pakai ‘Islamic State’, ganti nama pakai apa gitu. Kalau dia pakai nama Islam mbok ya jangan pakai itu,” imbuhnya.
Menurut hasil kajiannya, Sri menemukan bahwa kasus terorisme yang dominan terjadi adalah karena pelakunya termakan oleh dogma agama yang keliru. Adapun penggunaan agama sebagai motivasinya adalah, karena agama bisa dibawa ke arah mana saja dan cenderung laku untuk ‘dijual’.
Karena itu menurut Sri, keterlibatan semua pihak untuk melakukan upaya deradikalisasi atau penyadaran kembali para pelaku teror itu sangatlah penting, supaya mereka kembali ke jalan yang damai .
“Ini tugas bersama, bahwa pelaku teror itu adalah saudara kita, dan deradikalisasi hanyalah upaya untuk membawa mereka kembali. Tindakan seperti itu juga tidak menyebabkan mereka sampai dicabut kewarganegaraannya, kan,”tukasnya.
Kedua buku buah karya Sri Yunanto itu merupakan hasil dari pengembaraan intelektual penulis, yang sudah mensurvei ancaman potensial dan rill terorisme di beberapa negara di seluruh dunia dan Indonesia, serta menganalisa strategi penanganan teror dan teroris di negara-negara tersebut. (ZA)