
JAKARTA, SUARADEWAN.com – Goenawan Mohamad memberikan klarifikasi terkait terseretnya nama mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta calon Gubernur DKI Jakarta no urut 3, Anies Rasyid Baswedan yang dilaporkan ke KPK soal kasus korupsi pada kegiatan “Frankfurt International Book Fair di London.
Dalam catatan status Facebooknya, Goenawan Mohamad (GM) mengatakan bahwa sepertinya tidak adil kalau nama Anies yang diseret-seret. Menurut GM dirinya adalah Ketua Komite Nasional pada waktu Indonesia hadir sebagai “negeri kehormatan” untuk acara besar 2014-2015 di Bologna dan London waktu itu.
“Maka jika ada yang perlu dilaporkan ke KPK, itu adalah saya, bukan Anies Baswedan,” tulis GM di beranda Facebook pribadinya, Jum’at (10/3/2017). Goenawan juga menambahkan bahwa Keputusan Indonesia untuk bersedia diminta jadi “negeri kehormatan” itu ditandatangani oleh Menteri Mendikbud Moh. Nuh waktu itu.
“Juga besarnya anggaran disiapkan dan diajukan di masa Moh. Nuh. Anies melanjutkan agenda ini, dan saya senang bekerja bersama dia: saya memimpin team profesional, dia aparat Kementerian. Hasilnya bisa dilihat dari kesaksian dan liputan media terkemuka Jerman,” lanjut si pendiri Tempo ini.
Meskipun soal pilkada DKI Jakarta, pilihan GM bukan pada Anies tapi menurutnya tidak fair kalau kejadiaan ini dilakukan hanya semata-semata melakukan black campaign. Dalam tulisannya, GM merasa sedih karena baru kali ini pilkada DKI Jakarta di warnai dengan fitnah dan banyak kabar bohong.
“Siasat fitnah dan kabar bohong yang dulu diarahkan ke Capres Jokowi kini ditujukan ke Anies — dan sebelumnya ke Ahok, yang karena fitnah harus diproses di pengadilan. Bahkan hari ini Ahok difitnah ikut terima suap dalam kasus E-KTP. Saya sedih dengan pilkada ini,” tulisnya lagi.
Mengakhiri tulisannya, sang Budayawan yang cukup kritis ini mengatakan bahwa masyarakat kita begitu ambisi meloloskan masing-masing calonnya. Padahal menurut GM pilkada hanyalah sebuah periode yakni memilih pemimpin yang dikontrak hanya selama lima tahun.
“Jika fitnah dan kebencian diteruskan, apa lagi dengan mengobarkan sentimen agama dan etnis, sehabis ini kehidupan politik macam apa yang akan menyertai kita? Luka hati. Perpanjangan saling curiga. Dan kepercayaan yang rusak berat kepada proses demokrasi,” tutup sang sastrawan termuka ini. (aw)