JAKARTA, SUARADEWAN.com – Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya raya akan Sumber Daya Alam (SDA). Namun, sayangnya, kekayaan tersebut belum bisa diimbangi dengan kesiapan Sumber Daya Manusia Indonesia untuk mengelolanya demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Melihat kondisi itu, Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) merasa perlu untuk melibatkan diri dan berkontribusi dalam memberikan solusi atas persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara tercinta, Indonesia.
Salah satu bentuk kontribusi itu, dibuktikan HIPPI hari ini Jumat (17/3) melalui Focus Group Discussion yang dilangsungkan di Graha CIMB Niaga Sudirman, Jakarta, yang melibatkan pihak-pihak kompeten di bidanganya untuk membahas persoalan kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia, serta memberikan tawaran rumusan solusinya.
Menurut Sekretaris Jenderal HIPPI Erik Hidayat, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2016 tentang jumlah penduduk miskin Indonesia, diketahui ada 28,1 juta orang yang masuk dalam kategori miskin dengan GINI ratio sebesar 0,39. Padahal, disisi lain diketahui, bahwa tenaga kerja Indonesia termasuk pekerja keras dengan jam kerja rata-rata 49 jam per-minggu, dan berada di ranking ketiga setelah Hongkong dan Korea Selatan. Tapi kenapa produktivitas pekerja Indonesia masih rendah? Menurut Erik, pangkal persoalannya ada di bidang pendidikan. “Karena tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia hanya SD dan SMP,” kata Erik.
Sementara menurut pengamat ekonomi Aviliani, kesenjangan ekonomi sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan juga di negara-negara berkembang lainnya. Bahkan kesenjangan ini terjadi juga di negara-negara maju. Namun untuk Indonesia kesenjangan ekonomi itu terjadi dengan begitu tajamnya. “Data BPS menunjukkan bahwa 10% orang Indonesia menguasai 75,7% kekayaan Indonesia. Data BPS ini juga selaras dengan data Oxpam yang menyatakan bahwa 1% orang Indonesia menguasai 49% kekayaan Indonesia,” jelas Aviliani.
Bahkan menurut pengamat Ekonomi ini, Indonesia selain menghadapi persoalan kesenjangan ekonomi yang gila-gilaan, sekaligus juga sedang menghadapi persoalan sosial yang mengkhawatirkan. “Indonesia berada pada peringkat ke-VI soal ketimpangan sosial,” tutur Aviliani.
Kemudian menurut Wakil Ketua Umum HIPPI Bidang Hukum dan Advokasi Dhaniswara, bahwa banyaknya Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan regulasi lainnya yang tidak pro ke dunia usaha, juga turut memberikan kontribusi atas meningkatnya kesenjangan ekonomi di Indonesia. Misalnya seperti kasus di DKI Jakarta. “Kebijakan ‘konsolidasi’ oleh Pemda DKI saat ini misalnya, membuat UKM tidak bisa menjadi supplier di Pemda DKI secara langsung. UKM yang mau menjadi supplier di Pemda DKI harus melalui BUMD, itu berarti memperpanjang supply chain dan tidak ekonomis bagi UKM. Akibatnya banyak UKM DKI yang menutup usahanya,” tukas Dhanis.
Ahli hukum ini juga mengatakan, kondisi yang serupa ternyata juga terjadi pada BUMN. Dimana BUMN menutup akses UKM untuk memasuki supply chain mereka, dan BUMN ‘dibiarkan’ memiliki anak, cucu, cucuk, dan cicit perusahaan untuk memasok kebutuhannya secara mandiri, meskipun seringkali tidak ekonomis dan bukan pada core business-nya. “Belum lagi terkait ‘kegenitan’ Kementerian juga Lembaga Negara lainnya yang membuat peraturan tanpa melihat kondisi yang ujung-ujungnya menyebabkan UKM menderita dan memberikan dampak pada kesenjangan ekonomi sosial,” kata Dhanis.
Wakil Ketua Umum HIPPI bidang pertanian, Emil Arifin memberikan contoh BUMN pertanian khusunya perkebunan teh yang sudah tidak ekonomis namun tetap dibiarkan. Kemudian kebutuhan susu sapi yang sangat bear di Indonesia namun hanya mampu dipasok dari dalam negeri sebesar 10% saja, dan sisanya diimpor. “Artinya pasar susu sapi di Indonesia sangat besar, tapi tidak bisa dipenuhi peternak,” kata Emil.
Menurut Emil, kondisi itu terjadi akibat sulitnya akses pakan hijau oleh petani untuk ternak-ternaknya itu. Sebab area hiau yang menyediakan pakan-pakan itu sebagiannya sudah diubah menjadi perumahan dan tempat-tempat wisata. Emil bahkan menyarankan, semestinya pemerintah memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menggunakan lahan PTPN yang sudah tidak produktif untuk dimanfaatkan dengan menanam tanaman produktif. “Pemetik teh misalnya, bisa meningkatkan pendapatannya dengan memanfaatkan lahan tersebut,” ujar Emil.
Ketua Umum HIPPI Yani Motik, selain memberikan kritiknya atas sejumlah kebijakan yang dibuat pemerintah, juga secara objektif memberikan apresiasi atas kebijakan pemerintah yang lainnya, seperti kebijakan tentang redistribusi aset. Namun Yani tetap mewanti-wanti, bahwa redistribusi aset saja tidak akan efektif tanpa diikuti oleh peningkatan kualitas Sumber Daya, peningkatan kualitas produksi, dan penyediaan pasar yang terjamin.
“Beberapa usulan HIPPI adalah, misalnya untuk peningkatan produksi susu. Pemerintah selayaknya bisa menyediakan pasar dengan membuat kebijakan ‘wajib minum susu’ di sekolah. Selain program ini bisa meningkatkan kesehatan siswa, juga bisa memberikan manfaat sebagai penampung produksi susu dari para peternak,” kata Yani.
Selain itu, lanjut Yani, HIPPI juga menawarkan solusi untuk mengatasi pengangguran. Caranya adalah dengan pemerintah memperbanyak UKM dan memberikan pasar yang terbuka bagi mereka untuk memasuki supply chain di usaha-usaha pemerintah baik di BUMN maupun di BUMD. “BUMN-BUMD yang memiliki anak, cucu, cicit yang tidak produktif harus disetop, karena membebani negara,” tukas Yani.
Yani menyatakan, bahwa persoalan kesenjangan sejatinya bukan hanya tugas pemerintah untuk mengatasinya, melainkan juga tugas dari semua pihak. Karena itulah, kata Yani, pada 22 Maret nanti HIPPI akan melanjutkan upaya membantu pekerjan pemerintah itu dengan membuat acara Woman Business Forum yang bekerjasama dengan IFC, ITC dan IGCN sebagai contoh untuk mengatasi atau minimal mengurangi kesenjangan tersebut.
“Pada forum itu, UKM khususnya yang dipimpin oleh perempuan dipertemukan dengan corporate yang memberikan kesempatan kepada UKM untuk masuk ke Suply Chain corporate. Artinya, akan terbuka pasar bagi UKM yang dapat meningkatkan gairah UKM dalam berproduksi, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapat pelaku UKM, menyerap angkatan kerja, dan tentu akhirnya mengurangi kesenjangan,” tukas Yani. (ZA)