JAKARTA, SUARADEWAN.com – Pasca penetapan Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Mochamad Basuki sebagai tersangka kasus suap, wacana untuk memberikan hukuman yang jauh lebih menjerakan terus mengemuka. Apalagi diketahui bahwa Basuki sebelumnya sudah pernah terlibat dalam kasus yang serupa, yakni sebagai terpidana korupsi.
Karena dinilai tak ada efek dalam hukuman bagi para koruptor yang berjalan selama ini, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perlu ada upaya lainnya yang jauh lebih efektif. Salah satu yang utama adalah pemiskinan (memiskinkan) para koruptor.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono di sebuah diskusi bertema “Ngobrol Santi Antikorupsi: Masih Haramkah Korupsi?” yang berlangsung di sekretariat Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Kamis (8/6/2017).
KPK menilai bahwa hukuman penjara sudah usang alias tidak efektif lagi.
“Kini KPK berupaya selalu menggabungkan tindak pidana korupsi dengan pencucian uang untuk memiskinkan pelaku. Dengan begitu, mereka tidak bisa lagi melakukan kejahatan serupa,” terang Giri.
Itu sebabnya, tambah Giri, pemiskinanlah yang jauh lebih efektif untuk kemudian menjerat pelaku korupsi (koruptor) karena orang kaya itu bisa melakukan apa saja.
“Anda lihat bagaimana seseorang bisa mengubah penjara Sukamiskin menjadi tempat yang nyaman. Itu adalah bukti bahwa kita gagal dalam menjerakan pelaku korupsi,” lanjutnya.
Lebih keras daripada itu, Wakil Sekretaris Lakpesdam Nahdalatul Ulama (NU) Idris Mas’ud bahkan menawarkan hukuman mati, terutama bagi resividis koruptor. Menurutnya, ini sesuai dengan rekomendasi PBNU saat melakukan pengkajian hukuman kepada koruptor.
“Berdasarkan hasil Mukhtamar NU, jika memang perbuatan tersebut (korupsi) dilakukan berulang-ulang dan merugikan negara secara besar-besaran, dan tidak ada efek jera lainnya, hukuman mati bisa dijatuhkan,” tegasnya.
Pasalnya, tambah Idris, meski dampak hukuman mati kurang baik, kerusakan yang ditimbulkan dari tindak korupsi itu jauh lebih buruk.
Sementara menurut Juru Bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi, perilaku korupsi tidak akan pernah tuntas bila pendekatannya hanya dari aspek hukum. Baginya, perlu juga disertai dengan hukuman berupa sanksi sosial di masyarakat.
“Hukum hanya alat bantu untuk menyelesaikan persoalan atau konflik sosial yang ada di masyarakat. Jika ukuran keberhasilan meminimalisasi pelaku korupsi ialah berapa tahun seorang koruptor dihukum, sesungguhnya kita pasti akan gagal untuk melakukan proses minimalisasi korupsi,” jelas Farid. (ms)