Hukuman Mati Langgar HAM, Guru Besar: Perlu Renungan Kembali

JAKARTA, SUARADEWAN.com – Guru Besar Universitas Pelita Harapan, Prof. Dr. Frans H. Winarta, mengatakan bahwa ada nuansa kontradiktif dari sikap dan tindakan pemerintah Joko Widodo (Jokowi) sejak terpilih dan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7 tahun 2014.

Menurut Frans, di samping mengedepankan wacana penghormatan dan penegakan hak asasi manusia melalui Program Nawacita, pemerintah justru sekaligus melakukan pelanggaran tersendiri dengan melaksanakan eksekusi hukuman mati hingga tiga tahap terhadap lebih dari 60 terpidana mati kasus narkotika. Hal ini diuraikan Frans melalui keterangan tertulisnya berjudul Akankah Hukuman Mati Dihapuskan?.

Frans yang juga merupakan Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) ini, melihat bahwa pemerintah Jokowi-JK punya misi memerangi kejahatan narkoba. Karena hampir di setiap hari, menurut statistik, puluhan orang meninggal hanya karena konsumsi barang haram tersebut.

“Pada 2017, ada 25 terpidana mati kasus narkoba yang akan segera dieksekusi. Ancaman hukuman mati diyakini akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan narkotika lainnya di Indonesia,” terang Frans dalam keterangannya, Rabu (29/3/2017).

Seperti diketahui, pasca reformasi, Indonesia menjalani proses demokrasi yang cukup alot. Masing-masing masyarakat menyuarakan hak berpendapatnya terhadap penyelenggaran negara, terkait pula soal apakah pantas atau tidak negara melakukan proses eksekusi mati terhadap pelaku kejahatan, terutama kejahatan narkotika

“Nyawa seseorang adalah paling asasi dan berharga. Oleh karena itu, Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 menjaminnya,” imbuhnya.

Jika berpijak pada konstitusi negara, lanjut Frans, semestinya hak untuk hidup right to life) tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Untuk hal ini, ia mengutip pendapat Cessare Becaria dalam karyanya On Crimes and Punishments (1764).

“Hukuman mati tidak diabsahkan oleh hak apa pun karena negara tidak memiliki hak untuk mengambil nyawa seseorang. Cepat atau lambat, harus ada revolusi berpikir mengenai pro-kontra isu hukuman mati di negeri ini,” kutip Frans.

Ia pun menegaskan bahwa kita (negara) tidak bisa serta-merta menyalahkan pelaku kejahatan atas tindakannya dalam memperdagangkan narkotika. Namun, bagi Frans, harus ada kajian lebih lanjut terhadap faktor-faktor pemicu yang melarbelakanginya.

“Seperti faktor ekonomi, sosial, lingkungan, dan faktor lainnya di mana negara seharusnya memiliki andil di dalamnya,” pungkasnya melanjutkan.

Dan dalam rangka penanganan kasus semacam ini, Frans menghimbau pemerintah harus bekerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah harus dapat mencegah dan mencari solusi yang komprehensif guna mengatasi peredaran narkotika, tanpa harus menghilangkan atau mengorbankan nyawa seseorang.

“Butuh waktu lama, sama seperti halnya pelaku kejahatan juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menjalani hukuman yang lebih pantas daripada hukuman ‘nyawa ganti nyawa’ dengan dalih kepentingan negara,” tandasnya kembali.

Next

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90