Sosmed  

Ibhas Taruno Kiswotomo, Penyebar Fitnah dan Pengadu Domba

JAKARTA, SUARADEWAN.com – Tak banyak hal yang bisa diketahui dari sosok Ibhas Taruno Kiswotomo selain dari argumen-argumen yang kontroversialnya. Dalam berbagai kesempatan, ia tak jarang melontarkan nada-nada kebencian, pertikaian, perpecahan, pelemahan aparat negara, sampai dengan seruan penggulingan pemerintahan yang sah (aksi makar).

Menurut biografi singkatnya dalam akun facebook pribadinya, ia merupakan warga asal Surabaya, Jawa Timur, dan kini menetap tingggal di Ibukota Jakarta. Diterangkan pula bahwa Ibhas merupakan ayah dari dua orang anak bernama Amell dan Vintoryan Vallent.

Ia pernah bekerja di perusahaan yang ia dirikan  bernama New id Production—sebuah wirausaha yang bergerak di bidang jasa dan ritel. Ia juga sempat bergabung di Media Surat Kabar Investigasi dan Online SUARAKPK per april 2017. (Update: sejak tanggal 23 Mei 2017 yang bersangkutan oleh redaksi SUARAKPK telah dikeluarkan) silahkan di buka http://www.suarakpk.com/p/redaksi.html.

Seperti diketahui, nama Ibhas pernah mencuat setelah dirinya terlibat serta mendukung kebebasan untuk Buni Yani, tersangka pelanggaran UU ITE lantaran mengedarkan pidato fiktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kini menjadi polemik tak berujung. Bersama Komunitas Waroeng N.K.R.I, Ibhas selaku admin sangat getol menolak kriminalisasi atas Buni Yani

Memang, gerakan dukungan untuk Buni Yani sebelumnya juga dikibarkan melalui petisi di change.org. Dan kehadiran Komunitas Woreng N.K.R.I kian mempertajam upaya tersebut di mana Ibhas dan rekan-rekan sekomunitasnya melakukan penggalangan dukungan dengan menyebarkan tagar #SaveBuniYani. Hal tersebut terus digalakkan, baik di berbagai media sosial, media cetak, maupun elektronik/digital.

Dalam rangka memperjuangkan Buni Yani, Ibhas sangat yakin bahwa yang bersangkutan tidaklah bersalah. Karena baginya, dihilangkan atau tidak kata ‘pakai’ dalam transkrip Buni Yani di video tersebut, tetap saja pidato Ahok dianggap menistakan agama—merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Jadi, menurut saya, kata ‘pakai’ itu saya pikir tidak pantas diperdebatkan. Justru kalau tidak dihilangkan kata ‘pakai’ itu, artinya lebih dahsyat lagi,” terangnya di Bareskrim Gambir saat ia dan rekan-rekan komunitasnya mengadukan kasus ini ke pihak yang berwenang.

Next

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90