Imam Besar Masjid Istiqlal Perkenalkan Pendekatan Manusia Bugis dengan Alam

Prof. Dr. H. Nazaruddin Umar, MA

JAKARTA, SUARADEWAN.com – Imam Besar Masjid Istiqlal, Nazaruddin Umar, mengenalkan sebuah konsep Ukhuwah baru. Sebagaimana lazim, umat islam selama ini hanya mengenal 3 jenis Ukhuwah yakni Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia).

Namun, dalam pengajian daring yang dilakukan DPP KKSS, Rabu (29 April 2020), mantan Menteri Agama itu memperkenalkan Ukhuwah Makhlukiyah (persaudaraan sesama makhluk) yang menurutnya, istilah Ukhuwah Makhlukiyah disebut dalam Al-Qur’an.

Baca Juga: Jejak Pelaut Bugis Makassar dan Islamnya Warga Asli Australia

“Ukhuwah Makhlukiyah adalah sebagai cara memperlakukan semua makhluk Allah dengan spirit persaudaraan. Terhadap tetumbuhan, hewan, dan terhadap apa saja di sekitar kita, hendaklah dengan kesadaran bahwa semua itu makhluk Allah dan karenanya harus kita sayangi pula,” kata Nazaruddin Umar, Rabu malam (29/04).

Guru Besar PTIQ tersebut, menjelaskan, di komunitas Bugis-Makassar, dimensi Ukhuwah Makhlukiyah sangat kental mewarnai adat dan tradisi mereka. Leluhur kita begitu memberikan penghargaan dan sungguh menghayati kebersamaan dengan alam dan makhluk ciptaan Allah lainnya.

Misalnya, sebelum memulai menanam padi, lazimnya mereka melaksanakan upacara “Mappamula”. Begitu juga jika akan panen, ada semacam “upacara” tanda kesyukuran. Orang Bugis-Mandar sebelum melaut, terlebih dahulu menyapa laut, “apakah boleh mereka melaut?”.

Baca Juga: Empat Etos Manusia Bugis Makassar

“Itu merupakan bentuk persahabatan manusia Bugis (dalam hal ini Bugis-Makassar, Bugis-Mandar, Bugis-Toraja) terhadap alam dan lingkungan. Leluhur kita sangat tinggi ilmunya, karena mereka langsung berguru kepada “tanda-tanda alam”. Mereka hanya akan pergi melaut jika laut memberikan jawaban melalui “tanda-tanda”. Jangan cepat-cepat kita mengatakan itu musyrik,” katanya menjelaskan.

Ada satu istilah bahasa Arab yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa manapun di dunia, termasuk bahasa Indonesia. Kata itu adalah Muru’ah. Padanan katanya hanya ditemukan dalam bahasa Bugis, yakni “Matanre Siri’.” Ini sangat tinggi maknanya. Tentang akhlak mulia yang hanya berkomitmen pada kebaikan dan menolak keburukan.

Menurutnya, kalau orang Bugis respek terhadap pohon, sungai, laut, dan alam secara keseluruhan, itu jangan diartikan sebagai penyembahan. Melainkan sebagai bentuk Persahabatan; sebagai persaudaraan sesama makhluk. Orang Bugis itu adalah satu-satunya etnik dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan itu tersurat di dalam Ilagaligo, tentang Dewata Sewa’e.

“Memang jika orang melihat kulit luarnya saja, tidak akan memahami kedalaman makna dalam adat dan tradisi leluhur manusia Bugis. Seperti kalau kita mengupas Bawang, kulitnya itu kan berlapis-lapis. Konsepsi dan pandangan dunia manusia Bugis harus dibaca seperti itu. Jangan berhenti di kulit permukaan, tapi selami supaya kita sampai pada kedalaman makna,” pungkas Profesor bidang Tasawuf itu. (aw)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90