JAKARTA, SUARADEWAN.com – Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian dalam Seminar dan Lokakarya (Semiloka) dengan tema ”Indonesia di Persimpangan, Negara Pancasila vs Negara Agama”.
Agenda yang bertempat di Hotel Aryaduta, Tugu Tani Jakarta Pusat, Sabtu (8/4/2017) ini sebagai bentuk refleksi atas keprihatinan yang akhir-akhir ini sedang menjangkiti dunia perpolitikan Indonesia. Di mana, politisasi perbedaan identitas keagamaan di masyarakat, dilakukan secara masif. Hal ini jelas rawan akan konflik dan perpecahan.
Mula-mula Tito dalam paparannya mengacu pada sebuah karya buku yang berjudul The Destructive Power of Religion (editor oleh J. Harold Ellens). Bahwa Agama memang diciptakan untuk membuat dunia kehidupan manusia lebih konstruktif melalui nilai-nilai yang membangun. Tetapi nilai-nilai tersebut juga memiliki potensi untuk menghancurkan (distraktif).
“Hal ini terjadi ketika agama kemudian digunakan sebagai instrumen dalam pertarungan politik. In the name of god (atas nama Tuhan) mereka menggunakan identitas keagamaan untuk mem-bully yang lain, yang berbeda keyakinan,” ujar Tito.
Tito mengaku telah menangani 1000 lebih kasus dan melakukan wawancara intensif. Kesimpulan yang ia dapati, bahwa di mana saja konsep ini selalu sama, baik pembunuhan di Malaysia dan di Guantanamo, semua atas nama Tuhan.
Menurutnya, ini adalah resiko dari politik internasional, seperti yang meledak di Prancis maupun di negara lain. Karena ada problem di Timur Tengah, problem di dunia Islam. Sehingga, semua harus berusaha menghentikan, membuat bagaimana agar tempat itu damai.
“Jika sumber tempat problem dapat berdamai, sumber-sumber tempat lain pun dapat berdamai tanpa ada percikan ideologi yang mengancam. Karena apa yang terjadi di wilayah-wilayah tersebut tak dapat dilepaskan dari problem yang terjadi di dunia Islam, khususnya Timur Tengah,” lanjutnya.
Doktrin-doktrin konsep yang disebut salafi jihadi ini menganggap bahwa peradaban Islam sedang ditekan. Mereka ingin mengembalikan kejayaan Islam seperti di zaman para Salaf, yaitu zaman para sahabat, di mana saat itu abad XIII Islam memegang hegemoni.
Sementara di Indonesia, Demokrasi Pancasila yang dicetuskan oleh para founding father negara, saat ini ironisnya sudah mulai meredup.
“Kita melihat banyak sekali sekolah-sekolah, seperti madrasah yang tidak lagi mengadopsi, tidak lagi memperkenalkan konsep-konsep ini,” ujarnya Tito kembali.
Inilah pentingnya mengetahui sejarah, tambah Tito. Kita bisa menengok ke tahun 1908 (Kebangkitan Nasional) dan 1928 yang merupakan puncak dan momen terpenting, yaitu Sumpah Pemuda. Mereka menafikan semua perbedaan-perbedaan yang ada.
Bangsa kita, lanjutnya, adalah bangsa yang unik. Ratusan suku, ratusan bahasa dan ratusan budaya. Berbeda agama, berbeda keturunan, namun saat itu menafikan semua perbedaan yang ada, kemudian mendeklarasikan ikrar sumpah untuk bersatu dalam satu bangsa.
Pada Tahun 1945, Bung Karno dan Bung Hatta juga mencetuskan konsep Bhinneka Tunggal Ika. Guna untuk memperkuat instrumen-instrumen agar potensi konflik di dalam negeri yang bersumber dari penguatan identitas harus kita redam melalui konsep Bhinneka tersebut yang kemudian dijadikan sebagai semboyan negara Indonesia.
“Untuk aktualisasi di era reformasi ini, kuncinya adalah selain membuat mekanisme dalam sistem politik, juga instrumen rule of law. Aturan-aturan hukumnya, bukan untuk membatasi, bukan pula untuk mengurangi substansi demokrasi,” terang Tito kembali.
“Kita melihat idelogi-ideologi radikal yang masuk dengan mudah, ibarat jalan tol. Bahkan beberapa ideologi tersebut sudah terang-terangan menantang ideologi Pancasila sebagai ideologi Negara,” sambungnya.
Ya, mereka atas nama demokrasi maupun in the name of freedom, atas nama kebebasan. Tapi kemudian membatasi kebebasan yang lain.
“Kebebasan atas nama agama (kami kan bebas), tapi mereka juga membatasi kebebasan ideologi agama lain. Jadi ini hanya sebuah manipulasi kebebasan,” tegasnya.
Oleh karena itu, Tito berpendapat bahwa kuncinya ialah memperkuat instrumen pencegahan konflik, baik sistem politik maupun regulasi atau aturan hukumnya. Kemudian doktrin Pancasila ini harus kita intensifikasikan kembali. Bukan berarti diinfus dan dipaksakan, tapi harus diperkenalkan dan diteguhkan betul.
“Karena pendiri bangsa kita paham betul, bahwa negara kita ini begitu beragam, dapat dipastikan tak ada lagi negara lain yang seperti Indonesia. Sehingga, harus kita nafikan keberagaman itu, menjadi satu identitas, yaitu Bangsa Indonesia,” harap Tito. (ms)