JAKARTA, SUARADEWAN.com – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) DKI Jakarta mengkritik sejumlah kebijakan pemerintah bagi para nelayan. Harusnya tidak ada larangan yang sifatnya membatasi ruang gerak para nelayan di Indonesia, karena berkaitan dengan jumlah tangkapan para nelayan.
Adapun kritik itu pertama, HNSI menolak Surat edaran Dirjen Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) No B1234/DJPT/PI 410 du/31/12/2015 tentang Pembatasan UkuranKkapal di Atas 150 GT. Pasalnya, pembatasan perizinan untuk kapal di atas 30 GT tidak memberikan kesempatan nelayan Indonesia untuk memanfaatkan perairan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Ketua DPD HNSI DKI Jakarta Yan M. Winatasasmita mengatakan, padahal nelayan-nelayan Indonesia saat ini mempunyai kemampuan yang besar dan sudah menguasai teknologi sehingga tidak harus dilarang. Terlebih lagi, kapal ikan yang baru dibuat berukuran di atas 150 GT nantinya akan membuka lapangan kerja sehingga mendesak dicabutnya surat edaran tersebut.
“Pemerintah harus bijak untuk kesejahteraan nelayan dengan bisa menangkap ikan di ZEE dengan kapal besar sehingga produksi hasil tangkapan meningkat dan nelayan beserta keluarganya akan sejahtera,” ujarnya, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (3/2/2016).
Kedua, HNSI mengkritik pengurusan perizinan (SIUP, SIPI, SIKPI) kapal perikanan di atas 30 GT yang diatur oleh Permen Kelautan dan Perikanan No PER 2026/MEN/2013 tentang Pengajuan Perpanjangan Perizinan Dapat Dilakukan Tiga Bulan Sebelum Masa Berakhirnya Perizinan.
Tetapi kenyataannya pengajuan permohonan perizinan kapal di atas 30 GT yang diajukan tiga bulan sebelum masa berlakunya berakhir terbit 12 bulan dari bulan pengajuan yang berarti 10 bulan dari masa berlakunya sehingga efektifnya hanya dua bulan.
“Kondisi ini sangat menyulitkan pengusaha pemilik kapal dan mengakibatkan ribuan kapal tidak melaut berdampak pada 2,5 juta nelayan terancam menganggur. Kenapa perizinan harus lama? Sekarang sudah sistem komputerisasi kondisi ini harus disikapi oleh pemerintah agar tidak merugikan pengusaha pemilik kapal dan nelayan beserta keluarganya,” jelas dia.
Ketiga, HNSI menolak kebijakan pemerintah yang telah menaikkan pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil perikanan melalui PP No 75 Tahun 2015. Pungutan hasil perikanan (PHP) atas izin pengangkapan ikan untuk kapal penangkapan ikan, dengan kapal skala kecil naik dari 1,5 persen menjadi lima persen, kapal skala menengah naik dari dua persen menjadi 10 persen, dan kapal skala besar naik dari 2,5 persen menjadi 25 persen.
“Pemerintah harus berfikir objektif selama ini yang mensejahterakan nelayan adalah pengusaha pemilik kapal. Pemerintah belum mempunyai andil yang cukup besar dalam menyejahterakan dan memberikan bantuan yang menyentuh untuk nelayan,” pungkasnya. (jk)