Mahfud MD Menolak Ide Khilafah

JAKARTA, SUARADEWAN.com – Pernah suatu waktu ketika Mahfud MD diberondong pernyataan bernada kasar oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar. Saat itu Mahfud MD tengah mengisi halaqah di dalam pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika masih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi.

“Buktikan bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem pemerintahan,” tulis Mahfud melansir kata-kata aktivis ormas Islam tersebut, Jumat (26/5/2017).

Di forum “Konstitusi bagi Umat Islam Indonesia” tersebut, Mahfud sempat mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undag-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia,” kenangnya.

Lebih jauh ia juga mengatakan, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku.

“Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al-Quran dan Sunnah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman,” tambahnya.

Sistem Negara Pancasila

Bagi Mahfud, khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.

“Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku,” tegasnya.

Umat Islam di Indonesia, lanjutnya, boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri.

“Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa,” terangnya lebih lanjut.

Penjelasan Mahfud yang demikian itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar itu yang memintanya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan.

“Atas pernyataan itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang baku karena memang tidak ada,” pungkasnya kembali.

Justru, bagi Mahfud, yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan bahwa ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam Islam.

“Kalau saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba sekarang saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” tandasnya.

Teryata, penanya Mahfud tersebut tak bisa menunjukkan bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Maka di sana Mahfud kembali menegaskan, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku.

“Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman,” terangnya.

Ya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan lain sebagainya.

“Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam itu tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy),” urai Mahfud kembali.

Meskipun yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifaan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, lanjut Mahfud, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku.

“Di antara mepat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Ustman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotan enam orang yang dibentuk oleh umar,” pungkasnya.

Begitu juga Ali in Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Banu Umayyah, lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman), dan lain-lain yang juga berbeda-beda.

“Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat,” tegasnya.

Tentu ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Mahfud kembali menerangkan bahwa sistem Pancasila ini merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.

Berbahaya

Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan.

“Kalau itu masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan sewenang-wenang terhadap warganya sendiri,” ungkitnya.

Bagi Mahfud, semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang. Meskipun dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada subtansi ajaran moral dan etika pemerintah yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai dan etika yang luhur.

“Masalahnya, kan, soal implementasi saja. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya,” tandasnya kembali.

Mahfud juga mengungkit bahwa sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2017 silam di Jakarta yang menyatakan “demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia, bagi Mahfud, ini jelas gerakan berbahaya bagi keutuhan NKRI.

“Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri,” tegasnya mengingatkan.

Alasannya? Kalau ide khilafah diterima, lanjut Mahfud, di internal umat Islam sendiri akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak ada sistemnya yang baku berdasar Al-Quran dan Sunnah.

“Situasinya bisa saling klaim kebenaran dari ide khilafah yang berbeda-beda itu. Potensi chaos sangat besar di dalamnya,” tambah Mahfud.

Olehnya, tegasnya kembali, bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia.

“Ini yang harus diperkokoh sebagai mietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian,” tutupnya. (ms)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90