JAKARTA, SUARADEWAN.com – Wacana tentang Dewan Revolusi Islam (DRI) akhir-akhir ini kembali mencuak. Hal tersebut terungkap segera setelah terselenggaranya berbagai “Aksi Bela Islam” berjilid-jilid yang salah satunya berusaha “menyadarkan” umat Islam kepemimpinan ulama.
DRI sendiri pertama kali muncul di akhir Maret 2011 silam. Dalam maklumatnya yang tersebar luas di berbagai media massa online, formatnya mirip dengan struktur pemerintahan.
Di sana ada Kepala negara (bukan Presiden) yang diisi oleh pentolan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, sedang wakilnya adalah Amir Majelis Mujahidin Abu Jibril.
Adapula dewan penesehat, yakni Dewan Fuqaha, yang terdiri dari Abu Bakar Ba’ayir, Ma’ruf Amin, dan Hasyim Musadi. Sejumlah nama lain seperti Munarman (Menhankam), Cholil Ridwan (Menag), Ridwan Saidi (Mendikbud), dan Ahmad Sumargono (Menteri Pembangunan Daerah).
Selain itu, jajaran DRI juga diisi oleh Ali Mochtar Ngabalin (Menlu), MS Kaban (Mendagri), dan Tyasno Sudarto (Menkopolkam). Strukturnya, sekali lagi, persis dengan struktur pemerintah sebuah negara.
Wacana ini tentu bukan hal yang mengada-ngada. Apalagi diketahui bahwa penandatangan maklumat tersebut, yakni Muhammad Al-Khaththath mengaku bahwa DRI memang sempat dibentuk. Pembentukannya sendiri adalah wujud pengantisipasian kemungkinan kevakuman pemerintahan akibat kekacuan sosial politik di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam hal ini soal Pansus Bank Century.
“Jika pasca pansus ini (Pansus Bank Century) keadaan vakum, DRI siap ambil alih kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan Indonesia dengan syariat Islam,” demikian bunyi salah satu bagian maklumat tersebut.
Hal ini jelas mengkhawatirkan. Jika di era SBY upaya pengambil-alihan kekuasaan oleh DRI tidak sempat terealisasi karena kasus Bank Century reda, maka berarti ada kemungkinan bahwa di erah Presiden Joko Widodo, wacana itu akan kembali digaungkan.
Bisa dilihat, dari berbagai rangkaian “Aksi Bela Islam”, diakui atau tidak, wacana DRI secaranya nyata didemonstrasikan. Kata kunci dalam DRI, yakni “revolusi”, terus saja lantang disuarakan oleh massa aksi. Persis dengan awal-awalnya muncul wacana DRI ini di tahun 2011.
Menurut Ade Armando dalam salah satu artikelnya bertajuk Dewan Revolusi Islam sebagai Ancaman bagi Demokrasi, gagasan DRI dinilai sebagai gagasan memperoleh kekuasaan politik. Yang terlibat pun, kata Ade, adalah mereka yang secara politik “tersingkir” dari proses demokrasi.
“Mereka bercita-cita memperoleh bagian dalam tampuk kekuasaan, tapi selama ini tak pernah diberi tempat. Mereka bahkan tak dilirik oleh partai politik dengan identitas keislaman yang cukup berpengaruh, PKS. Dalam pemilu, suara kalangan garis keras ini sangat tidak berarti,” tulis Ade.
Tentu, gerakan semacam ini tak boleh diremehkan, apalagi didiamkan. Berbagai isu rasis berusaha diangkat guna membesarkan nama mereka, seperti isu Ahmadiyah di tahun 2011, sampai isu penistaan agama dan kepemimpinan non-muslim di konteks Pilkada DKI Jakarta.
Jika dibiarkan melumat korban-korban yang disasar, maka kejayaannya, cepat atau lambat, akan menjadi sumber kekuatan bagi mereka (kelompok DRI) untuk menguasai panggung politik. (ms)