YOGYAKARTA, SUARADEWAN.com – Sebagai rangkaian dari perlawanannya terhadap gerakan radikal berlabel Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Aliansi Bela Garuda (ABG) Yogyakarta menerbitkan sebuah buku putih berjudul Kenapa Perlu Waspada terhadap Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia? (Yogyakarta, 2017).
Terdiri dari 4 (empat) bab, ABG Yogyakarta berupaya mengulas berbagai permasalahan umum tentang HTI dan sikap ormas-ormas moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamaddiyah. Rekomendasi dalam perlawanan juga diikutsertakan ABG dalam buku putih tersebut, termasuk langkah pencegahan perkembangan gerakan perusak NKRI ini.
Di buku putih ABG Yogyakarta tersebut, ditegaskan bahwa umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“(Sebab) sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.”
Bahkan di dalam sumber primer ajaran Islam sekalipun, yakni al-Quran dan al-Hadits, ditegaskan pula bahwa tak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, lanjut ABG, tetapi sistem dan strukturasinya tidak diatur dalam al-Quran dan al-Hadits, melainkan diserahkan kepada kaum muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zamannya.
“Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para Ulama’ yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai “miitsaaqon gholiidhoo” atau kesepakatan luhur bangsa Indonesia.”
Jadi, tidak ada tuntunan sistem khilafah yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.
“Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.”
Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekholifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi Mukhammad SAW wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku. Di antara empat kholifah rasyidah atau Khulafa’ Ar-Rosyidin saja sistemnya juga berbeda-beda.
“Yang mana sistem khilafah yang baku ? Yang bisa dijadikan rujukan ? Jawabnya tidak ada. Yang ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Semua menyesuaikan kebutuhan umat di masing-masing tempat dan era.”
Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Padahal, semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, pernah pula melahirkan pemerintahan yang korup dan sewenang-wenang.
“Kalau dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Masalahnya, pada soal implementasi saja. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikan hal tersebut.”