JAKARTA, SUARADEWAN.com – Beragama tafsir atas pernyataan Ahok yang tersebar luas di media sosial dinilai LBH Jakarta sebagai pemicu keresahan masyarakat. Pernyataan tersebut, menurut LBH, disebar lalu dimaknai oleh pihak ketiga yang tidak mendengar, menyaksikan, mengetahui, serta mengalami langsung saat Ahok menyampaikannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu.
“Ini memunculkan gerakan massa 411, 212 dan 313 yang juga dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya Fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama,” terang LBH Jakarta dalam Pernyataan Sikap-nya, Sabtu (15/4/2017).
Sementara itu, tekanan massa dan penggunaan Fatwa MUI yang jadi dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal penodaa agama, bagi LBH, merupakan tindakan yang merusak negara demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi penegakan hukum (supremacy of law).
“Perilaku sesat berdemokrasi dan pelecahan hukum seperti ini sepanjang sejarah memang selalu terjadi dalam penggunaan pasal penodaan agama sejak awal. Dan hari ini, kita masih berada di titik yang sama di mana lembaga peradilan seolah tunduk pada tekanan massa,” lanjutnya.
LBH pun mencontohkan bahwa mulai dari penguasa sampai masyarakat awam, semuanya hampir tak lepas dari jerat pasal tersebut.
“Kriminalisasi menggunakan pasal penodaan agama jelas justru meruntuhkan tatanan penegakan hukum, demokrasi dan kebhinnekaan di Indonesia, serta wujud nyata dari peradilan sesat,” lanjutnya kembali.
Oleh karenanya, LBH Jakarta mengajukan diri sebagai Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) yang kemudian melayangkan 4 (empat) rekomendasi kepada Majelis Hakim terkait perkara Ahok, terutama dalam kasus dugaan penodaan agama.
Adapun keempat rekomendasi tersebut, di antaranya sebagai berikut:
- Agar Majelis Hakim pada perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara a quo, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagaimana dijamin di dalam konstitusi, yaitu pasal 27 ayat 1, pasal 28 E ayat 1 dan 3, pasal 28 I ayat 2, dan pasal 28 D UUD 1945.
- Agar Majelis Hakim menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karenanya mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi.
- Agar Majelis Hakim dapat menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti dengan mengacu pada: (1) Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan Pasal dengan sanksi pidana; dan (2) Menerapkan asas lex posterior derogat legi priori, sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan Konstitusi, UU No. 9/1998, UU 39/1999 dan UU 12/2005;
- Agar Majelis Hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dapat dihindari karena terlampau multitafsir.
Selain itu, LBH Jakarta juga menyampaikan masukannya kepada Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan anti demokrasi, dalam hal ini PNPS No. 1 Tahun 1965 dan Pasal 156a KUHP.
“Karena jelas niscaya pasal-pasal tersebut akan meruntuhkan kehidupan demokrasi dan iklim kebhinekaan di Negara Republik Indonesia,” tutupnya. (ms)