Meski Mayoritas Muslim, Inklusi Keuangan Syariah Indonesia Masih Rendah

Ilustrasi

JAKARTA, SUARADEWAN.com — Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan inklusi keuangan syariah. Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk islam terbanyak di dunia.

Berdasarkan data dari Global Islamic Economy, Indonesia menempati peringkat ke-7 di dunia sebagai negara dengan aset keuangan syariah terbesar yakni USD 86 juta di 2018.

“Data OJK pada 30 April 2020, keuangan syariah pangsanya relatif kecil dibandingkan keuangan konvensional. Market share keuangan syariah sebesar 9 persen, perbankan syariah 6,1 persen, industri keuangan non-bank syariah sebesar 4,4 persen, pasar modal syariah sebesar 16,2 persen,” urainya dalam diskusi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, Selasa (28/7).

Selain itu, lanjut Menko Airlangga, indeks inklusi keuangan syariah baru mencapai 9,1 persen dibandingkan total indeks inklusi keuangan yang mencapai 76,2 persen. Selain itu, tingkat literasi keuangan syariah baru mencapai 8,93 persen.

“Hal ini menjadi catatan, mengingat penduduk muslim di Indonesia yang mencapai 87,18 persen dari total penduduk Indonesia sebesar 265 juta. Sehingga Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sangat berpotensi dalam peningkatan indeks inklusi keuangan syariah,” ujar Menko Airlangga.

Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto

Pemerintah Bentuk Program Implementasi Ekosistem Syariah

Maka dari itu, pemerintah bersama BI, OJK dan komite nasional keuangan syariah, serta lembaga keuangan syariah telah meluncurkan program implementasi ekosistem pengembangan ekonomi dan keuangan syariah berbasis pondok pesantren pada 17 Desember 2019 lalu. Adapun pondok pesantren yang terpilih yakni pondok pesantren KH Aqil Siroj Kempek Cirebon.

Implementasi ekosistem pengembangan ekonomi dan keuangan syariah berbasiskan pondok pesantren terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu: (1) Edukasi dan literasi keuangan syariah; (2) Pembiayaan syariah bagi usaha kecil dan mikro (UKM) sekitar pondok pesantren serta UKM binaan pondok pesantren; (3) Pembukaan rekening syariah; (4) Program tabungan emas; serta (5) Kemandirian ekonomi pesantren terintegrasi keuangan syariah yang mendukung ‘halal value chain’.

Terdapat pula ekosistem pendukungnya meliputi yang pertama, terbentuknya di lingkungan pondok pesantren Unit Layanan Keuangan Syariah (ULKS) yang terdiri dari Agen Bank Syariah, Agen Pegadaian Syariah, Agen Fintech Syariah, yang terintegrasi dengan Unit Pengumpul Zakat (UPZ), dan Halal Centre Pondok Pesantren.

Kedua, terciptanya sistem pembayaran syariah terintegrasi pada pondok pesantren, mendukung pembayaran SPP santri/santriwati, payroll gaji guru/pengurus pondok pesantren, serta elektronifikasi sistem pembayaran di pondok pesantren dan lingkungan masyarakat di sekitarnya untuk mendukung inklusi keuangan syariah berbasiskan digital. Contohnya, penerapan kartu santri digital, dan metode pembayaran menggunakan QRIS pada kios digital di pondok pesantren.

Ketiga, adanya pembiayaan yang berasal dari Bank Wakaf Mikro (BWM) dan KUR Syariah untuk revitalisasi dan mendirikan usaha warung/kios/toko/koperasi pada pondok pesantren.

Melalui program ini, diharapkan inklusi keuangan syariah bisa terus tumbuh serta menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Apalagi didukung dari keberadaan pondok pesantren yang berjumlah 28.194 (data Kementerian Agama RI) di seluruh Indonesia.

Bukan hanya bagi santri atau masyarakat di lingkup pondok pesantren, namun juga masyarakat di sekitar pesantren juga dapat merasakan imbas perputaran ekonomi dari program ini. Di mana, sebanyak 44,2 persen atau 12.469 pondok pesantren memiliki potensi ekonomi, baik pada sektor agribisnis, peternakan, perkebunan, dan sektor lainnya. (mer)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90