JAKARTA, SUARADEWAN.com – Rapat Paripurna DPR RI yang menyetujui penggunaan hak angket terhadap KPK untuk menyelidiki rekaman berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap Miryam S. Haryani terkait kasus korupsi e-KTP, dianggap salah alamat.
Pasalnya, hak angket DPR hanya bisa ditujukan kepada pemerintah, bukan kepada lembaga penegak hukum, seperti KPK.
Hal ini mengacu pada pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang diduga bertentangan dengan undang-undang.
“Dengan demikian sudah jelas, hak angket seharusnya ditujukan kepada pemerintah, bukan lembaga penegak hukum independen seperti KPK,” terang Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, Jumat (28/4/17).
Oleh karena itu Hifdzil Alim dirinya meminta KPK untuk tidak menuruti keinginan DPR RI untuk membuka rekaman BAP tersebut. “Karena tidak ada hukum yang menyatakan KPK harus tunduk,” sambungnya
Ia menganggap usulan hak angket KPK merupakan upaya untuk menghambat dan menghalang proses pengungkapan kasus e-KTP yang sedang ditangani oleh lembaga anti rasuah tersebut.
“Mereka bisa melakukan tindakan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses penegakan hukum,” jelasnya.
Menurutnya, ada tekanan politik yang begitu kuat dari sejumlah pihak di lingkungan DPR RI untuk mendesak pengajuan hak angket untuk mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani terkait dengan dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP yang disinyalir melibatkan sejumlah politisi senayan itu. (DD)
COMMENTS