Penerapan Peraturan Baru Taksi Online

Ilustrasi

JAKARTA, SUARADEWAN.com – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merevisi Peraturan Menteri Perhubungan No. 32 Tahun 2016 tentang angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek. Dan revisi peraturan ini mulai aktif diterapkan pada 1 April 2017.

Ada 11 poin yang menjadi  inti dari revisi peraturan itu, yakni pertama, taksi online masuk dalam kategori angkutan sewa khusus. Kedua, mobil 1000 cc bisa dioperasikan sebagai taksi online. Ketiga, pemberlakukan tarif batas atas dan batas bawah bagi angkutan taksi online. Keempat, Jumlah armadanya harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah tempat mereka beroperasi. Kelima, pemilik kendaraan wajib melakukan balik nama STNK atas nama perusahaan taksi online. Keenam, kendaraan wajib diuji secara berkala. Ketujuh, memiliki pool (bisa bekerjasama). Kedelapan, harus memiliki bengkel (bisa bekerjasama). Kesembilan, harus membayar pajak sesuai aturan. Kesepuluh, memberikan kementerian perhubugan akses pada data pengemudi taksi online. Dan terakhir, siap menerima sanksi (baik berupa teguran maupun pemblokiran).

Adapun mengenai tarif batas atas dan batas bawah, besaran tarifnya akan ditentukan oleh pemerintah daerah, sebab kewenangan mengenai hal itu sudah diberikan pada mereka. Penentuannya nanti akan mempertimbangkan kondisi pasar dan demografi di masing-masing daerah tersebut.

Dari 11 poin itu ada tiga poin yang belum disepakati oleh operator taksi online Grab, Uber, dan Gojek. Salah satunya adalah penetapan tarif batas atas dan batas bawah. Pasalnya menurut mereka, penetapan batasan tarif itu akan membuat masyarakat kesulitan untuk mendapatkan layanan kendaraan dengan biaya yang terjangkau.

Sementara menurut Menteri perhubungan Budi Karya Sumadi, justru 11 poin itu dibuat untuk memberi kepastian hukum bagi taksi online dan melindungi konsumen dari dominasi pasar yang berlebihan. Dan melalui revisi peraturan ini, diharapakan kedepannya bisa tercipta keseimbangan antara bisnis taksi konvensional dengan online.

“Sekarang ada kompetisi yang kita lihat kurang sehat. Makanya kita atur untuk menimbulkan yang namanya kesetaraan. Kita tidak boleh menganaktirikan saudara-saudara kita yang sudah berpenghasilan dari situ (angkutan umum konvensional). Tegas kita katakan, inilah niat baik untuk mengatur,” kata Budi saat acara sosialisasi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (26/3) kemarin.

Selain itu, kata Budi, pemberlaukan tarif batas atas dan batas bawah bertujuan untuk melindungi para pengemudi taksi online sendiri.

“Karena tarif ini, pengemudi taksi online tarifnya bersaing mati-matian, kan kasihan kalau sudah terlalu murah. Maka itu ada tarif batas bawah, nanti diatur,” katanya.

Budi bahkan mengakui, saat ini angkutan online memang lebih praktis dan mampu merebut pasar dengan mudah, namun tetap saja harus diatur untuk memberikan kesempatan pada taksi konvensional untuk bertahan.

“Kita termasuk yang mentolerir, tapi kita atur. Kita apresiasi angkutan online, karena di sekeliling saya senang sekali dengan online. Tapi tidak bisa kita abaikan bahwa masih banyak masyarakat yang butuh angkot dan transportasi konvensional lainnya,” imbuh Budi.

Sementara menurut pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan, ada hal yang mencurigakan dari penerapan revisi permenhub nomor 32 tahun 2016 itu. Misalanya, kata Azas, hal itu terlihat dari uji publik yang dilakukan yang hanya mengundang pengusaha transportasi, dan tidak melibatkan sama sekali masyarakat konsumen.

“Iya, ini kan jadi simpang siur. Apa yang seharusnya diatur tidak diatur. Mereka bikin uji publik tapi yang diundang cuma pengusaha transportasi. Mana ada dia undang konsumen, nggak ada masyarakat pengguna hadir disitu. Ini kan sarat adanya kepentingan tertentu,” ujar Azas di Jakarta beberapa waktu lalu.

Azas juga mengkritik soal aturan tarif batas atas dan batas bawah. Menurutnya, dengan diterapkannya aturan itu, malah akan membuat masyarakat semakin kesulitan sebab biaya taksi online akan menjadi lebih mahal dibandingkan sebelumnya.

“Karena masalah tarif tadi, masyarakat yang selama ini sudah bisa menikmati tarif yang murah, nyaman, bagus. Tapi sekarang dipaksa untuk naik ke atas, membayar lebih mahal,” tukasnya.

Menurut pengamat ini, pemerintah semestinya membuat aturan main menganai standar pelayanan minimum (SPM) supaya bisa memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat.

“Yang diatur itu SPM nya, bagaimana bikin masyarakat itu nyaman naik online. Kalau dia punya ketidaknyamanan sama taksi online yang dipesan, dia harus lapor ke siapa, apa tindakan lanjut, harus gimana. Ini yang seharusnya diatur. Bukan yang lain-lain,” kata Azas. (ZA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90