oleh : Dr. Gun Gun Heryanto
(Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta)
PARTAI Golkar untuk kesekian kalinya mengalami turbulensi. Hal ini terkait dengan kepercayaan publik kepada Partai Golkar di tengah kasus hukum yang menjerat Setya Novanto.
Kini Novanto berstatus tersangka dan berada dalam tahanan KPK. Ada dua pertanyaan mendasar, bagaimanakah Golkar menyikapi krisis yang disebabkan ketua umumnya dan seperti apa prospek Golkar ke depan di tengah agenda-agenda politik nasional yang berhimpitan.
Sikap Golkar
Merespons krisis yang dialami Ketua Umum Partai Golkar, telah digelar rapat pleno tertutup Dewan Pengurus Pusat di Jakarta, Selasa (21/11). Ada beberapa keputusan yang dihasilkan di rapat pleno tersebut, antara lain menerima Sekretaris Jenderal Idrus Marham sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum.
Selain itu, nasib Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR menunggu hasil praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Yang menarik adalah alasan keputusan tersebut disandarkan pada suasana batin Novanto, para kader, dan konstituennya.
Konsekuensi dari keputusan rapat pleno tersebut, jika praperadilan mengabulkan gugatan Novanto maka posisi pelaksana tugas akan berakhir. Sebaliknya, jika gugatan Novanto ditolak, pelaksana tugas ketua umum bersama ketua harian akan menggelar rapat pleno guna menentukan langkah selanjutnya yakni meminta Novanto mengundurkan diri dari posisi ketua umum. Seandainya Novanto menolak mengundurkan diri maka akan disiapkan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).
Langkah Golkar lewat rapat pleno tersebut bisa dimaknai dalam dua konteks. Pertama , ini merupakan strategi manajemen konflik internal dan eksternal yang dilakukan oleh kubu Novanto. Langkah menunda penggantian Novanto, baik sebagai Ketua Umum Golkar maupun sebagai Ketua DPR RI sangat tidak mengesankan dalam bacaan manajemen reputasi politik.
Argumen disandarkan pada logika menghormati proses hukum, yakni menunda pergantian posisi dua jabatan strategis yang melekat pada Novanto tersebut dengan menunggu putusan praperadilan. Sebagaimana kita ketahui, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengagendakan sidang perdana praperadilan Novanto pada 30 November 2017. Artinya, kemungkinan besar putusan praperadilan akan dijatuhkan pada 7 Desember 2017.
Hal ini tentu mengindikasikan langkah defensif yang dilakukan Golkar untuk all out mempertahankan posisi Novanto. Ini memang bukan langkah progresif karena harapan publik begitu kuat agar Golkar memelopori proses menjaga “marwah” dan integritas partai di era demokrasi yang semakin terbuka seperti saat ini.
Novanto tak lagi efektif menjadi nakhoda Partai Golkar, dan sangat berisiko menjadi pewajahan buruk bagi manajemen reputasi politik Golkar dengan status hukum yang kini disandangnya, termasuk hiruk-pikuk yang menjadi konteks riuh rendahnya opini publik sekitar kasus e-KTP yang menderanya.
Jika pun urusan Golkar dianggap urusan internal, dan mekanisme penggantian ketua umum menjadi domain internal mereka, mengapa hal yang sama juga diambil Golkar untuk posisi Novanto di DPR-RI?
Posisi sebagai Ketua DPR bukan semata urusan partai Golkar, ada kepentingan publik yang harus diperhatikan oleh Golkar. Ketua DPR merupakan posisi sangat penting dan menjadi bentuk komitmen Golkar pada bangsa ini. Golkar surplus politisi senior berpengalaman. Dalam kondisi seperti sekarang, seharusnya Golkar mau dan mampu menarik Novanto dari posisinya sebagai Ketua DPR-RI dan menggantikan dengan kader Golkar lainnya yang lebih mumpuni.
UU MD3 sudah sangat jelas mengatur, jika pimpinan DPR berhalangan melaksanakan tugasnya selama tiga bulan berturut-turut, melanggar sumpah jabatan, dan melanggar kode etik, bisa diberhentikan dari posisinya. Dengan dua surat dari Novanto yang beredar luas di media untuk “mengamankan” posisinya di Golkar maupun di DPR, menjadi pesan nyata bahwa meski berada dalam tahanan KPK, posisi Novanto masih kuat mengendalikan DPP Golkar saat ini.