Pilkada 2020 Tanpa Politisasi SARA, Bawaslu: Ada Empat Tantangan

Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Petalolo

JAKARTA, SUARADEWAN.com — Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengungkap ada empat tantangan yang harus dihadapi dalam mewujudkan penyelenggaraan Pilkada 2020 tanpa politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan ujaran kebencian.

Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Petalolo berharap Pilkada 2020 ini akan lebih baik daripada pemilu-pemilu sebelumnya yang kerap diwarnai isu-isu SARA. Oleh karenanya, Bawaslu akan terus berikhtiar untuk mewujudkan hal tersebut.

Kendati demikian, ia tak menampik urusan politisasi SARA dan ujaran kebencian ini tidak semudah dalam penanganannya. Ratna menuturkan, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi dalam menangani persoalan ini.

“Ada 4 hal yang menjadi tantangan Bawaslu dalam mewujudkan Pilkada tanpa politisasi SARA dan ujaran kebencian,” katanya dalam webinar bertajuk ‘Pilkada Tanpa Ujaran Kebencian dan Isu Agama Lebih Oke’, Kamis (13/8/2020).

Tantangan pertama, katanya, dalam UU Tentang pemilihan umum (Pemilu) itu hanya dapat menjangkau perbuatan atau ketika ada seseorang, kelompok orang, peserta pemilu, tim kampanye, yang melakukan politisasi SARA. Dalam hal ini Bawaslu hanya menjangkau jika perbuatan itu dilakukan saat kampanye.

Padahal, katanya, bisa saja peristiwa ini terjadi tidak di masa kampanye, tapi di saat minggu tenang, saat tahapan pemungutan suara, atau pada saat tahapan rekapitulasi dan sebagainya. Sehingga perbuatan-perbuatan yang terjadi di luar tahapan kampanye itu menjadi cukup sulit untuk ditindaklanjuti.

“Jadi pembatasan tahapan, pengaturan tentang politisasi SARA ini menjadi problem kita di dalam mewujudkan Pilkada tanpa politisasi SARA,” ujarnya.

Ratna melanjutkan, tantangan kedua yang dihadapi yakni perbedaan persepsi antar stakeholder dalam membedakan konten ujaran kebencian dan hoaks. Sehingga dalam penanganan pelanggaran, Bawaslu harus memakai atau meminta pendapat ahli dalam menerjemahkan apa yang dimaksud sebenarnya dengan ujaran kebencian dan hoaks yang dimaksud.

Tantangan ketiga adalah proses pembuktian yang panjang dalam menangani dugaan tindak pidana ujaran kebencian atau politisasi SARA. Dia mencontohkan, dalam Pemilu 2019 kemarin, Bawaslu hanya bisa membuktikan atau sampai pada putusan pengadilan inkrah itu hanya ada 4 kasus dari beberapa temuan atau laporan yang diproses.

Dia melanjutkan, pada Pilkada tahun 2020 ini UU yang mengatur tentang politisasi SARA dan ujaran kebencian tidak mengalami perubahan, artinya tetap menggunakan batas waktu penanganan pelanggaran yang sangat singkat, yakni 3+2 hari kalender. Ratna menegaskan hal ini akan menjadi tantangan tersendiri.

“Apalagi Pilkada 2020 ini dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Jadi ada beberapa pembatasan-pembatasan yang akan kami temui dalam proses penindakan pemanganan pelanggaran. Ini tentu akan menjadi hal yang serius bagi Bawaslu untuk mencari jalan keluar yang terbaik agar penanganan pelanggaran tetap akan bisa berjalan dengan baik,” tuturnya.

Tantangan keempat yakni masih dibutuhkan sistem penegakan hukum yang komprehensif meliputi substansi berkaitan dengan pengaturan yang ada dalam UU, kemudian struktur berkaitan dengan penegakan hukumnya. Mengingat, ini berkaitan dengan penindakan pelanggaran pemilihan, tentu akan sangat terkait langsung dengan institusi kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam sentra Gakkumdu.

“Kami sangat cukup banyak harapan di Pilkada 2020 ini karena kemarin ketika penandatanganan bersama antara Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan, itu dihadiri langsung Bapak Kapolri dan Jaksa Agung,” tuturnya. (oz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90