JAKARTA, SUARADEWAN.com – Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) yang dirangkai secara serentak di 101 daerah seluruh Indonesia pada 15 Februari 2017 lalu, ternyata menyisakan banyak cerita yang tidak layak. Mulai dari black campaign (kampanye hitam) sebelum pencoblosan, adu serang secara negatif antar paslon dan pendukung/simpatisan, sampai yang terparah adalah masifnya gerakan money politic (politik uang) di ambang batas pemungutan suara.
Itu terus terjadi seolah menafikan adanya hukum/aturan yang mestinya jadi pedoman bersama dalam penyelenggaran pesta demokrasi ini. Dan salah satu wilayah paling massif adanya politik uang adalah Provinsi Sulawesi Barat.
“Kalau soal kecurangan-kecurangan di Pilkada serentak kemarin, ditengarai cukup massif itu ada di Sulbar. Dan yang paling banyak adalah politik uang yang dilakukan oleh para pasangan calon,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Jauh dari Kata Sukses
Secara formal, Pilkada Sulbar bisa dikatakan telah usai. Itu ditunjukkan dari keluarnya pasangan Ali Baal Masdar – Enny Anggraeny Anwar (ABM-Enny) sebagai pemenang menurut hasil hitung TPS (Form C1), yang berhasil meraup dukungan suara paling banyak dari 6 (enam) Kabupaten/Kota yang ada, yakni Majene, Mamasa, Mamuju, Mamuju Tengah, Mamuju Utara, dan Polewali Mandar.
Dari hitungan matematik itu, ABM-Enny memimpin tipis dari pasangan Suhardi Duka – Kalma Katta (SDK-Kalma), yakni 38,76% atau 244.803 suara dari total suara sah 631.409 (suara tidak sah 7.381). Sedang SDK-Kalma hanya mencapai 38,01%, dan Salim S. Mengga – Hasanuddin Mashud 23,24%.
Meski usai secara formal, tapi hal ini tetap butuh untuk direfleksikan. Salah satu sebabnya, menurut pengamat politik Sulbar Abdul Latif, politik uang masih massif mewarnai prosesnya.
“Money politic banyak dan masih dilakukan. Dibanding Pilkada sebelum, ini yang paling banyak,” tutur Latif di Sulbar, Selasa (21/2/2017).
Hal itu, lanjutnya, dapat dilihat dari laporan polisi maupun cerita yang berkembang di masyarakat.
“Dari kasus yang ada, yang OTT (terjaring operasi tangkap tangan) 362 juta, di luar yang tidak sempat OTT. Tapi yang tidak sempat OTT ini tidak bisa dibuktikan secara hukum, karena tidak ada pelapor dan saksi,” imbuh alumnus UIN Makassar ini.
Ia pun berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak lainnya bisa merefleksikan proes penyelenggaran Pilkada Sulbar kali ini.
“Jangan sampai cap gagal menempel di KPU dan Bawaslu Sulbar,” tegasnya.
Dengan fakta-fakta tersebut di atas, jelaslah bahwa Pilkada Sulbar masih jauh dari kata sukses. Sebagaimana ditegaskan Tjahjo dalam himbauannya, bahwa pelaksanaan Pilkada serentak baru bisa dikatakan sukses jika beberapa hal terpenuhi, yakni tidka adanya politik uang, netralitas TNI, Polri dan PNS, serta partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya terus meningkat.
Saling Lapor
Kuasa hukum dari masing-masing pasangan calon ABM-Enny dan SDK-Kalma juga tampak saling lapor pasca pemungutan suara berlangsung. Masing-masing dari mereka menduga adanya pelanggaran dalam Pilkada berupa politik uang.
Kuasa hukum ABM-Enny, Hatta Kainang SH, menduga terkait praktik money politic yang terstruktur, sistematis dan massif yang dilakukan pasangan calon SKD-Kalma. Ini diungkap Hatta dalam konferensi pers bersama Koalisi Maju Malaqbi, Tim Pemenangan ABM-Enny.
“Kami akan melaporkan pelanggaran Pilkada, khususnya money politic,” tegas Hatta di Cafe Hero, Mamuju, Minggu (19/2/2017).
Secara berkebalikan, tim advokasi pasangan SDK-Kalma juga akan melaporkan dugaan kecurangan yang sama. Kecurangan tersebut diduga dilakukan oleh tim pemenangan ABM-Enny, yang kemudian akan dilaporkan ke Bawaslu Sulbar.
“Kami punya alat bukti yang kuat bahwa salah satu tim sukses ABM-Enny melakukan serangan fajar di Kelurahan Binanga, Mamuju,” terang salah seorang tim advokasi SDK-Kalma, Nasrun Natsir.
Tak hanya itu, lanjut Nasrun, pihaknya juga mengaku menemukan ada warga di Kabupaten Mateng (Mamuju Tengah), tepatnya di Kecamatan Budong-budong yang mencoblos menggunakan surat tugas yang ditandatangi oknum Kesbangpol berinisial HD.
“Masih banyak bukti-bukti lainnya yang kami adukan. Silakan komisioner Bawaslu mengkaji laporan kami untuk ditindaklanjuti,” paparnya.
Kecaman Sejumlah Pihak
Menurut beberapa pengamat politik, maraknya praktik polik uang di Pilkada Sulbar ini adalah bukti bahwa tidak ada elit dominan yang bisa secara semena-mena memaksa selera politik warga. Karena itu, politik uang terus saja terjadi, bahkan di dalam masyarakat yang sudah muali demokratis sekalipun.
Di sisi lain, politik uang juga memberi sinyal bahwa para kandidat tidak cukup percaya diri dengan platform yang ditawarkan dan merasa bahwa pesona integritas dan rekam jejak mereka tidak cukup kuat untuk meraih simpati publik. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Bidang Politik dan Public Policy, Saidiman Ahmad.
Menurut Saidiman dalam salah satu wawancaranya di media lokal Sulawesi Barat, publik harus terus disadarkan bahwa mereka yang membeli suara, ataupun si penjual suara itu sendiri, adalah orang-orang yang tidak kompeten untuk duduk di jabatan publik apapun.
“Kita punya budaya siriq (rasa malu) yang sangat kuat. Tetapi kenapa kita tidak malu berbuat curang dalam Pilkada, seperti membeli dan menjual suara?” terang Saidiman.
Ia juga menegaskan bahwa praktik politik uang tersebut hanya akan menginjak-injak harkat dan martabat orang Mandar di Sulbar itu sendiri.
Senada dengan Saidiman, seorang pengamat lainnya bernama Busman Rahman juga menegaskan bahwa praktik politik uang di Pilkada Sulbar ini adalah implikasi negative dari Pilkada langsung yang selama ini terjadi, dan itu sangat sulit untuk dihindari.
“Tapi untuk menghentikan praktik politik uang ini, tak ada cara lain selain mengadvokasi rakyat, mendorong mereka menjadi pemilih cerdas di setiap perhelatan pesta demokrasi, sehingga para pelaku politik uang di kemudian hari akan merasa jerah,” tandas Busman. (ms)