JAKARTA, SUARADEWAN.com – Sampai hari ini, usulan hak angkat “Ahok Gate” terus menuai kontroversi. Usulan yang didalangi oleh empat fraksi partai politik di DPR ini pun dianggap sebagai upaya politisasi guna menggerus popularitas Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam putaran kedua Pilkada DKI Jakarta ke depan.
“Itu murni politisasi untuk menjegal dan menggerus popularitas Ahok, karena sejatinya tidak ada hukum tertulis yang dilanggar oleh Mendagri terkait pengaktifan kembali Ahok sebagai gubernur,” ujar praktisi hukum Osward Febby Lawalata, Jumat (17/2/2107)
Ia juga menjelaskan bahwa penamaan “Ahok Gate ini juga sangat tendensius. Padahal, ungkapnya, Ahok hanya ingin menjalankan kewajibannya sebagai pejabat negara yang itu merupakan kebijakan dari pemerintah yang diwakili oleh Mendagri.
“Kenapa harus dinamakan Ahok Gate? Hal ini jelas bertujuan untuk membangun opini publik. Ahok ‘nakal’ dan masih ngeyel mau menjadi gubernur dalam status tersangka,” lanjut advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jawa Tengah ini.
Advokat lulusan Undip ini juga menganalisanya secara yuridis terkait Pasal 83 UU Pemerintahan Daerah. Menurutnya, pasal ini tidak menyatakan secara tegas jika ada dua dakwaan yang saling terbentur, contohnya dalam kasus Ahok.
“Itu berarti bahwa aplikasi UU ada di tangan Mendagri dan ketika Mendagri tetap memilih mengaktifkan Ahok, maka tidak dapat dipersalahkan. Toh secara yuridis tidak ada yang dilanggar,” tegasnya kembali.
Adapun sikap Mendagri yang baru akan mengambil keputusan setelah ada tuntutan, menurutnya, adalah langkah yang sangat tepat sebagai jalan keluar dari adanya dua dakwaan yang kontras, yakni menggunakan Pasal 156 atau 156a.
“Kalau jaksa menganggap Ahok bersalah melanggar dakwaan Pasal 156, maka tentu Ahok tetap menjabat karena ancamannya maksimal empat tahun, di bawah dari ketentuan Pasal 83,” sambung Osward.
Sebaliknya, kalau Ahok didakwa Pasal 156a, maka Mendagri harus mengambil sikap untuk menonaktifkan Ahok.
“Tentu ini harus mendapatkan pertimbangan dari fatwa MA yang akan menafsirkan frasa paling lama lima tahun seperti dakwaan 156a dan frasa paling singkat lima tahun sebagaimana Pasal 83 UU Pemda,” tambahnya. (ms)