JAKARTA, SUARADEWAN.com – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan perlu dievaluasi. Mengingat banyaknya problem pendidikan yang tak kunjung tuntas dan kebijakan menteri yang cenderung kontroversi membuat banyak kalangan menginginkan Mendikbud untuk mundur dari jabatannya.
Dari hasil riset JPPI melalui Right To Education Indeks (RTEI) pada tahun 2016 menyebutkan bahwa, ada tiga problem pendidikan yang krusial, pertama, diskriminasi kelompok marginal, kedua sekolah belum ramah anak dan ketiga kualitas guru rendah.
Koordinator Advokasi JPPI Nailul Faruq mengatakan, terkait dengan isu resufle jilid 3 kabinet Jokowi-JK, JPPI minta presiden untuk melakukan evaluasi mendikbud dan benar-benar membereskan problem pendidikan yang kian numpuk.
“Hasil kajian JPPI, setidaknya banyak masalah pendidikan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah dalam mewujudkan nawacita bidang pendidikan,” kata Nailul Faruq, pada Jum’at (28/7).
Dikatakan Nailul Faruq, ada sekira delapan point inti yang seharusnya diselesaikan dengan pemerintah. Pertama terkait nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun ini masih di persimpangan jalan. Sebab, tidak-adanya payung hukum. Perbincangan soal realisasi wajar 12 tahun ini mengemuka sejak awal pemerintahan Jokowi hingga tahun 2015.
Kedua, Program Full Day School (FDS) dengan Permendikbud 23 harus dikaji ulang atau bila perlu di cabut, agar tidak menjadi polemik di masyarakat secara luas dan terkesan menyampingkan pendidikan madrasah (Madrasah Diniyah).
Ketiga, Problem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017 beberapa waktu masih menuai banyak persoalan, sesuai dengan pantauan JPPI problem yang krusial adalah problem soal zonasi dan pungutan liar.
Keempat, kualitas guru harus ditingkatkan. Jangan hanya gajinya saja yang naik, kualitasnya juga harus meningkat. Untuk itu, pemerintah harus lebih serius dalam mengembangkan kapasitas. Kelima, untuk menciptakan rasa aman dan ramah anak di sekolah, pemerintah dan juga pihak sekolah harus memberikan sangsi tegas kepada pihak-pihak manapun apabila melakukan kekersan di lingkungan sekolah.
Keenam, perlunya kebijakan afirmasi untuk kelompok marginal. Diskriminasi pendidikan bagi kelompok marginal harusnya tidak terjadi. Khususnya bagi kalangan miskin, difabel dan para pengungsi. Mereka juga punya hak atas pendidikan. Ketujuh, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marginal masih jadi impian. Kedelapan, adanya ketidak-sesuaian (mismatch) antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Saat ini ada lebih dari 7 juta angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan.
“Semuanya itu merupakan catatan untuk mendibud Muhadjir Effendy. Kami pun, dari pihak JPPu meminta Presiden untuk segera melakukan evaluasi terhadap kinerja Mendikbud,” pungkasnya. (fn)