JAKARTA, SUARADEWAN.com – Pro-kontra Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) tidak bisa dihindari. Pasalnya, setiap ahli melihat aturan ini dari berbagai sudut pandang sesuai dengan latar belakang masing-masing.
Yusril Ihza Mahendra menyatakan beberapa kecacatan dalam Perppu Ormas ini. Sebagai contoh, Yusril menyebutkan pasal 59 ayat (4) sebagai salah satu pasal karet.
Pada bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c menyebutkan, “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.”
“Pasal ini karet karena secara singkat mengatur paham seperti apa yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam bagian penjelasan tidak mengatur norma apapun. Dan penafsiran sebuah ajaran, kalau tidak melalui pengadilan, maka tafsir hanya berasal dari pemerintah. Tafsir anti-Pancasila bisa berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain. Pemerintah bisa semaunya menafsirkan,” ucapnya.
Penafsiran dalam pasal ini akan kembali berubah jika pemerintah dan kepentingan yang dibawa mengalami perubahan. Oleh karena itu Yusril menilai bahwa aturan ini harus dijelaskan secara spsifik dan rinci. Jika tidak, maka bisa saja ormas yang hari ini dinilai tidak melanggar perppu ini di kemudian hari justru akan dinyatakan sebaliknya, tergantung siapa yang berkuasa dan apa kepentingannya.
“Jadi saya ingatkan ke semua pimpinan ormas jangan senang dulu. Sekarang ada yang senang kan, antusias. Ini bisa berbalik ke semua. NU juga bisa bubar dengan (Perppu) ormas ini karena itu kita harus hati-hati dengan perkembangan ini,” ujar Yusril
Yusril juga mengkritik pemberian kewenangan terhadap Mendagri dan Menkumham mencabut status badan hukum ormas. Yusril mengatakan, pencabutan status ormas hanya bisa dilakukan melalui pengadilan.
“Asas contrarius actus itu enggak bisa diterapkan ke ormas. Itu untuk kasus administrasi pemerintahan dalam kaitan pemberhentian kepegawaian, misalnya pegawai PNS,” kata Yusril.
“Tapi kalau ormas kan bukan diangkat dalam jabatan. Ormas dipisahkan sebagai badan hukum atau didaftarkan sebagai organisasi. Tidak bisa dibubarkan dengan asas contrarius actus,” ucapnya.
Di sisi lain, Syamsuddin Haris, salah seorang Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengakui bahwa dari aspek hukum terdapat kelemahan dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) ini.
Namun dia menilai bahwa secara substansial Perppu tersebut dibutuhkan untuk menangani keberadaan ormas yang diduga memiliki tujuan menghancurkan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
“Saya pikir, terkait Perppu itu kita bisa memahami, menurut banyak ahli hukum ada masalah di sana. Tetapi secara substansi bagaimanapun kita butuhkan juga. Tantangan kita bukan hanya menyelamatkan demokrasi tetapi juga menyelamatkan eksistensi republik ini,” ujar Syamsuddin saat menghadiri diskusi bertajuk Sudah Tepatkah RUU Pemilu dan Perppu Ormas? di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (19/7/2017).
Sementara Ali Munhanif, Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM-UIN) Jakarta menyatakan Perppu Ormas ini dikeluarkan sebagai langkah politik yang tepat dari pemerintah. Karena jumlah organisasi serupa dan pengikutnya semakin bertambah, ini bisa menjadi ancaman politis.
“Menurut saya secara politik tepat waktu. Dengan banyaknya organisasi yang berorientasi pada radikalisme dan kekerasan, semakin banyak orang percaya pada khilafah,” ujar Ali.