JAKARTA, SUARADEWAN.com – Kondisi investasi Arab Saudi di Indonesia, jika dibanding dengan tahun 2010-2015 yang mencapai U$D 34 juta (0,02%), turun drastis sebesar U$D 0,9 juta (Rp. 11,9 miliar) di tahun 2016. Kondisi ini menjadikan Arab Saudi berada di peringkat 57 dalam hal realisasi investasi untuk 44 proyek di Indonesia, di bawah Afrika Selatan yang mampu mencapai U$D 1 juta di 8 proyek.
Angka ini juga jauh jika dibanding dengan realisasi investasi dari negara Timur Tengah lainnya. Sebut misalnya Iran yang berada di posisi ke-33 dengan realisasi investasi sebesar U$D 14,3 juta, Afghanistan U$D 12,3 juta, Pakistan U$D 4,8 juta, Kuwait U$D 3,6 juta, Turki U$D 2,7 juta, Irak U$D 2,7 juta, Yordania U$D 1,6 juta, dan Mesir U$D 1,2 juta.
Pertanyaannya, mengapa Arab Saudi yang sebelumnya mampu berada jauh dalam hal realisasi investasi di Indonesia di antara negara-negara Timur Tengah lainnya kini akhirnya menurun drastis?
Menurut Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Suryani Sidik Motik, Ph.D, penyebab bisa jadi karena hubungan Indonesia dengan Arab Saudi kurang fokus ke wilayah ekonomi. Seperti diketahui, selama ini pemerintah Indonesia fokusnya hanya kepada persoalan TKI/TKW dan kuota haji jika kaitannya dengan Arab Saudi.
“Padahal, di atas itu, kita punya potensi-potensi dagang yang sangat luar biasa. Sayangnya, kita selama ini kurang fokus ke sana. Yang kita tuntut selama ini hanyalah soal bagaimana kuota haji bisa ditambah,” kata Suryani, Senin (27/2/2017).
Selain soal keutamaan di atas, Suryani juga menerangkan bahwa dalam hal investasi dagang, idealnya memang jika respon tersebut datang dari kedua belah pihak.
“Persoalannya, siapa yang lebih butuh (investasi), Indonesia atau Arab Saudi? Yang lebih butuh kan kita. Kita punya banyak penduduk dibanding Arab Saudi,” lanjutnya.
Untuk itulah Suryani menegaskan bahwa pemerintah Indonesia harusnya mampu menjemput bola. Dan kedatangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud dalam waktu dekat ini mesti dijadikan sebagai momentum tepat untuk meraup investasi sebanyak-banyaknya.
“Jadi, kalau kita yang lebih butuh, harusnya kita yang lebih proaktif menjemput bola. Kita harus sadar bahwa kitalah yang harus proaktif,” tegas Suryani.
Ia juga mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia harus sigap menangani jika ada investor datang untuk menanamkan modalnya.
“Satu atau dua tahun yang lalu, seringkali investor datang ke Indonesia. Tapi mau ketemu menterinya saja susah. Mau ketemu pejabatnya susah. Sementara di negara lain, seperti Malaysia dan Brunei, lebih mudah. Kalau perlu rapat-rapat parlemennya dibatalkan demi menyambut investor yang datang. Maka tak heran jika Arab Saudi lebih berkiblat ke sana,” terang Suryani.
Adapun soal regulasi yang berhubungan dengan investasi, harus dibuat sedinamis mungkin. Hal ini juga penting karena kebanyakan investor tak mau berinvestasi hanya karena tersandung dengan aturan-aturan teknis semacam ini.
“Kita harus datangi. Tanyakan, kira-kira peraturan apa yang memberatkan, apa yang bisa kita lakukan. Kalaupun nanti tidak sesuai, kan itu aturan kita yang buat. Bisa kita lakukan perubahan. Bisa kita revisi,” tandasnya.
Jadi, dengan strategi meraup investasi dari Arab Saudi untuk Indonesia ke depan ini, target dari Presiden Jokowi yang ingin meraup U$D 25 miliar sangat mungkin bisa tercapai. Kuncinya, menurut Suryani, aturan-aturan seperti sertifikasi dan hal-hal teknis lainnya harus mampu diselesaikan secepat mungkin.
“Pengusaha dan pemerintah juga harus mampu membuat paket-paket yang menarik. Apalagi nanti akan bertemu langsung dengan Raja Salman beserta pangeran-pangerannya yang sangat berpotensi akan menanamkan modalnya jika apa yang ditawarkan tersebut menarik minat dan perhatian mereka,” imbuhnya. (ms)