Referendum Turki; Presidensial atau Otoritarianisme??

JAKARTA, SUARADEWAN.com – Pemungutan suara dalam sebuah Referendum penting untuk memperkuat kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan, Langkah ini menentukan apakah Presiden Recep Tayyip Erdogan akan menyapu bersih kekuatan baru jika yang bersangkutan menang, digelar di Turki, Minggu, 16 April 2017.

Sebanyak 55 juta orang berhak mengikuti referendum di 167.000 TPS yang tersebar di seantero Turki. Hasil referendum tersebut diperkirakan bakal diumumkan pada Minggu, 16 April 2017 malam waktu setempat, atau Senin dini hari WIB.

Referendum Turki yang berlangsung 16/4/17 waktu setempat

Lewat Referendum ini Erdogan berupaya menggantikan sistem parlementer Turki dengan presidensial. Jika referendum tersebut dimenangkan kubu Erdogan, maka ini artinya Turki akan meningalkan sistem parlementer yang telah berlangsung sejak 1982.

Bagi Pendukung Erdogan, referendum ini akan merampingkan dan memodernisasi negara. Tetapi kubu oposisi khawatir hal itu bisa menyebabkan otoritarianisme yang lebih besar.

Referendum yang menyediakan pilihan ‘Ya’ dan ‘Tidak’ bagi rakyat Turki ini dilakukan untuk mengubah UUD Turki Tahun 1982. Perubahan ini akan diimplementasikan jika kubu “Ya” menang.

Sebuah suara “iya” juga bisa membuat Erdogan tetap berkuasa hingga 2029. Ia juga bisa menunjuk langsung menteri kabinet, memutuskan dekrit, memilih hakim senior, dan membubarkan parlemen.

Sebagaimana diketahui, referendum Turki ini adalah sebuah program perubahan konstitusional terbesar sejak Turki menjadi republik hampir satu abad silam.

Sikap Erdogan selama ini menunjukkan dirinya sangat suka dengan kekuasaan. Sama seperti Presiden Rusia Vladimir Putin, yang telah empat periode menjabat sebagai pemimpin Rusia, baik itu sebagai perdana menteri maupun presiden. Putin juga melakukan amandemen UUD untuk memperkokoh kekuasaannya.

Kelompok Pro Erdogan

Berbicara dalam salah satu aksi unjuk rasa terakhirnya di distrik Tuzla, Istanbul, Erdogan berkata kepada para pendukungnya bahwa konstitusi baru akan “membawa stabilitas dan kepercayaan yang diperlukan bagi negara kita agar tumbuh dan berkembang”.

“Turki bisa melompat ke masa depan,” katanya, seperti dikutip BBC, Minggu 16 April 2017.

Erdogan dilantik menjadi presiden, sebuah posisi seremonial, pada 2014 setelah lebih dari satu dekade menjabat perdana menteri.

Referendum perubahan konstitusi jika dimenangkan kubu ‘iya’ akan menghapuskan jabatan perdana menteri yang sekarang dipegang oleh Binali Yildirim, perubahan ini akan memungkinkan presiden menggenggam semua birokrasi negara di bawah kekuasaannya.

Erdogan menilai, sistem baru ini akan menyerupai pemerintahan di Prancis dan Amerika Serikat, serta akan membawa ketenangan di tengah masa kekacauan yang ditandai dengan pemberontakan Kurdi, militansi Islam, dan konflik di negara tetangga Suriah yang telah menyebabkan masuknya gelombang pengungsi.

Tak heran sikap Erdogan ini telah menyebabkan friksi di kalangan para pejabat Turki. Sebagai contoh, Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu memilih mengundurkan diri pada akhir 2015 lalu ketimbang mendukung Erdogan. (SD)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90