SUARADEWAN – Pada hari pertama pagelaran Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022 di Bali pada tanggal 27-30 Oktober 2022 terdapat program diskusi “Parallel Lives: Living Between Cultures”.
Pembicaranya antara lain Sasti Gotama, Olin Monteiro, dan Osman Yousefzada. Program ini diadakan untuk mengungkap bagaimana pengalaman hidup dalam budaya berbeda dapat mempengaruhi proses kreatif dalam kerja seni.
Osman Yousefzada adalah seorang penulis dan perancang busana keturunan Pakistan yang tinggal di Red District, sebuah wilayah terpinggirkan di Inggris.
Beliau menceritakan bagaimana ia mengalami diskriminasi dari orang-orang kulit putih penduduk Inggris, dan juga tentang budaya patriarki dari Pakistan yang masih ada dalam keluarga dalam menikahkan anak perempuan mereka yang masih kecil.
Namun diskriminasi yang dialaminya tersebut usai bagi dirinya ketika ia berhasil membuat para selebriti dunia, seperti Beyonce dan Lady Gaga, menggunakannya jasa desain busananya.
Osman juga menceritakan awal ia mencintai busana adalah ketika masih kecil ia sering menjumpai dan mengagumi kain-kain perca sisa menjahit ibunya yang bekerja di rumah.
Hal inilah yang membuktikan bahwa budaya dalam keluarganya memberikan andil bagi pekerjaannya di kemudian hari.
Sasti Gotama adalah seorang penulis Indonesia yang memulai debutnya di tahun 2018 dan dapat menembus media nasional hanya dalam waktu 4 tahun.
Sasti tinggal berpindah-pindah karena tugasnya sebagai dokter dan hal tersebut mempengaruhi bagaimana ia menulis. Ia juga menaruh perhatian besar pada permasalahan-permasalahan perempuan.
“Saya mendengarkan cerita mereka (penduduk setempat yang datang sebagai pasien) sambil memberikan pengobatan. Mengenal budaya mereka, baik norma dan behaviornya, menjadikan saya dapat lebih mudah menyesuaikan diri,” tutur Sasti saat diskusi.
Menurutnya berpindah ke berbagai daerah dengan budaya berbeda sangat mempengaruhi caranya dalam menulis, ia mengungkapkan,”Menulis adalah cultural work (pekerjaan budaya), karena setiap karakter dalam tulisan pasti mengusung budaya.” Ia juga menjumpai berbagai permasalahan perempuan di daerah tugasnya yang kemudian dituangkan dalam cerpen-cerpennya.
Pembicara lain, Olin Monteiro, seorang aktivis feminis, penulis, dan produser dokumenter yang bekerja di jaringan-jaringan seni budaya dan perempuan, mengatakan bahwa di Indonesia sebenarnya telah ada sistem untuk menangani kekerasan, baik sistem pelaporannya, undang-undangnya, support grupnya, tetapi budaya setempatlah (yang tidak tega menghukum pelaku) yang sering menghalangi kekerasan itu tertanggulangi.***