JAKARTA, SUARADEWAN.com – Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini mewartakan sejumlah langkah yang patut diupayakan oleh pemerintah dalam rangka mencegah tersebarnya virus-virus radikalisme , terutama yang menjangkit akut di kalangan pemuda Indonesia.
Langkah tersebut Helmy ungkapkan dalam tulisannya di media massa bertajuk Skema Melawan Radikalisme, Jumat, 28 Juli 2017.
“Banyak pemuda, atau bahkan mereka yang masih belia, terpapar virus radikalisme. Setidaknya ada tiga langkah yang bisa diupayakan dalam mencegah hal ini terjadi,” terang Helmy.
Langkah pertama, menurutnya, adalah revitalisasi penanaman nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme.
“Ini sangat penting mengingat gerakan radikalisme itu salah satunya bersumber dari lemahnya penghayatan, pemahaman, dan kecintaan terhadap nilai-nilai Pancasila, sehingga menyebabkan jiwa seseorang mengalami kemarau nasionalisme,” tulisnya.
Untuk itu, ia mengimbau agar pemerintah mampu mencari formula guna membangkitkan apa yang disebut sebagai “nasionalisme kewarganegaraan”. Nasionalisme jenis, rujuknya ke J.J. Rousseau, dibangun dari partisipasi aktif rakyat. Sikap rakyat yang selalu aktif mencintai segala aspek negerinya adalah bahan baku utama untuk membangun nasionalisme.
“Nasionalisme kewarganegaraan tersebut harus dipupuk dengan penguatan nasionalisme agama. Nasionalisme agama adalah semangat nasionalisme yang dibangun berdasarkan nilai-nilai agama. Ini penting untuk melapisi langkah pertama,” jelasnya.
Jika dua nasionalisme itu berhasil ditumbuhkan, tambah Helmy, maka tahap selanjutnya adalah mentransformasikan keduanya menjadi “nasionalisme produktif”.
“Ini merupakan gerakan nasionalisme yang diwujudkan dalam bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, dari yang paling kasat mata sampai yang paling sublime,” jelasnya kembali.
Langkah kedua yang diwartakan Helmy adalah pemerintah harus melakukan program kontra-radikalisme. Program ini, menurutnya, tidak semakna dengan program deradikalisasi yang sedang marak-maraknya digaungkan pemerintah. Keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
“Jika deradikalisasi dimaknai sebagai program yang bertujuan melunakkan radikalisme narapidana, kontra-radikalisme adalah sederet program dan gerakan yang menyentuh segenap lapisan yang sudah terbukti bergabung dan pernah melakukan tindak terorisme maupun yang belum. Kuncinya ada di pendidikan,” terangnya lanjut.
Dan langkah terakhir, tambahnya, adalah keseriusan pemerintah menggandeng organisasi kemasyarakatan yang berpaham moderat untuk membantu melunakkan paham radikalisme yang menjangkiti aparatur sipil negara.
“Misalnya, dengan merekrut khatib atau dai-dai yang santun dan kompeten dari organisasi seperti NU dan Muhammadiyah untuk mengisi pengajian, taklim, dan khotbah Jumat di kantor-kantor pemerintah. Dibutuhkan kerja sama pelbagai pihak untuk menghalau radikalisme yang kian hari kian meluas dan meresahkan ini,” pungkasnya.