Sistem Proporsional Caleg Terbuka: Kelebihan dan Kekurangannya

Keinginan PDIP untuk mengganti metode Pemilu ke sistem proporsional tertutup bertentangan dengan reformasi dan hak rakyat untuk berdaulat. (Foto: instagram @pdiperjuangan)

SUARADEWAN.com – Sudah dua periode PDIP selalu menang dalam Pemilu dalam sistem proporsional caleg terbuka. Tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi keinginan PDIP untuk mengubah Pemilu mendatang agar berjalan dengan sistem proporsional caleg tertutup.

Sistem yang tertutup ini merupakan sistem Pemilu yang ditinggalkan sejak 2014 karena dianggap tidak transparan dan rawan dengan suap dan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Alasan yang membuat PDIP merasa harus mendukung Pemilu kembali dari sistem proporsional caleg terbuka ke sistem lama tersebut adalah karena penghematan uang. Memang, dalam sistem Pemilu terbuka, setiap caleg perlu mengeluarkan uang yang tidak sedikit dalam pencalonan dirinya.

Menurut sebuah laporan tertulis, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, mengatakan setiap caleg yang maju dalam Pemilu sistem proporsional caleg terbuka harus menyiapkan anggaran sebesar 5 hingga 100 miliar agar dirinya mendapat suara yang cukup untuk duduk di kursi parlemen.

Hal tersebut didukung dengan penelitian oleh politisi lama, Pramono Anung. Dan ini merupakan alasan PDIP untuk mengubah sistem proporsional terbuka ke sistem lama yang tertutup.

Kekurang sistem proporsional terbuka juga diungkapkan oleh peneliti Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam Democracy For Sale (2020).

Biaya yang dihabiskan caleg untuk bertatap muka atau tampil di muka umum sangat banyak karena mereka perlu memperkerjakan tim sukses. Dalam kerjanya yang berkeliling pun, caleg dan tim sukses tersebut harus bisa mengumpulkan kembali pundi-pundi untuk kelangsungan kerja mereka.

Tim sukses tugas utamanya adalah memperkenalkan calon kepada rakyat sambil membagi-bagikan suvenir. Tak jarang suvenir tersebut berupa uang politik.

“Para broker (tim sukses) lebih mengandalkan hubungan pribadi dengan tokoh masyarakat daerah tersebut dan menjanjikan pemberian uang untuk ditukar dengan suara,” tulis Aspinall dan Berenschot mengenai uang politik.

Hal tersebut tak disangkal oleh para ahli dan partai politik. Tetapi perdebatan selesai ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan yudisial review dalam uji materiil UU Nomor 10 Tahun 2008 pada tahun 2014 tentang sistem proporsional terbuka murni.

Sistem yang berganti dalam semangat reformasi ini bermaksud mendekatkan masyarakat pada kedaulatannya sendiri.

Meskipun dalam perjalanannya sistem proporsional caleg terbuka tidak serta merta memastikan jalannya demokrasi persis dengan kedaulatan dan kehendak rakyat, tetapi beralih ke sistem lama pun bukan jawaban yang tepat.

Karena bisa jadi sistem tertutup yang ingin dijalankan PDIP pada 2024 justru memperparah keadaan. Gambarannya jelas pada lagu yang dilantunakn Iwan Fals:

“Surat Buat Wakil Rakyat” (1987)


Saudara dipilih bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi memilih para juara
Juara diam, juara he’eh, juara ha ha ha

Hal yang sama terjadi saat Al Amin Nur Nasution, anggota DPR RI periode 2004-2009, yang dibekuk KPK karena terlibat suap alih fungsi hutan lindung.

Pasca penangkapan Al Amin, seorang dosen Univeritas Kristen Indonesia mencoba bertanya kepada para mahasiswanya, apakah mereka mengenal Al Amin Nur Nasution.

Para mahasiswa memberikan jawaban beragam. Namun dapat diketahui garis besar jawaban-jawaban tersebut adalah mereka tidak mengenal siapa Al Amin Nur Nasution kecuali dari kabar bahwa ia bercerai dari seorang biduan dangdut.

Tiga kritik yang dihasilkan dari Pemilu sistem proporsional tertutup yang dapat ditarik dari lagu Iwan Fals dan kasus Al Amin tersebut. Pertama, kritik bahwa mereka yang terpilih menjadi anggota DPR kerap terkait nepotisme dengan orang-orang yang mempunyai jabatan.

Kedua, anggota DPR yang terpilih lebih banyak mengabaikan tugasnya. Dan ketiga, kritik terhadap sistem proporsional tertutup yang membuat masyarakat buta terhadap apa yang mereka pilih.

Muhamad Doni Ramdani dan Fahmi Arisandi dalam artikel jurnal “Pengaruh Penggunaan Sistem Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Proporsional Daftar Terbuka” (2014) menuliskan bahwa:

“Sistem pemilu yang tidak mendorong aspirasi masyarakat dalam menggunakan haknya, berarti sistem pemilu tersebut mengebiri bahkan menghilangkan penggunaan hak asasi manusia itu sendiri.”***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90