JAKARTA, SUARADEWAN.com – Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) melayangkan surat perihal “Penyampaian Aspirasi Masyarakat” ke Presiden RI Joko Widodo.
Surat bernomor PW/05363/DPR RI/II/2017 ini berisi pemberitahuan bahwa pada hari Senin, 20 Februari 2017, Pimpinan DPR RI telah menerima Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI). Dan dalam pertemuan tersebut, mereka (Tim Advokasi GNPF MUI) menyampaikan beberapa pengaduan ke perwakilan rakyat Indonesia ini.
“Iya, suratnya sudah dikirim kemarin,” kata Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, Jumat (24/2/2017).
Surat yang ditandangani langsung oleh Fadli Zon selaku Wakil Ketua DPR RI ini memuat 5 poin utama, yang juga ditembuskan ke Pimpinan DPR, Pimpinan Komisi III DPR, Menteri Dalam Negeri, Kapolri, Plt Sekjen DPR RI, dan Ketua Delegasi, tertanggal 22 Februari 2017.
Di poin pertama disebutkan bahwa Presiden RI diminta langsung untuk melakukan pemberhentian sementara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta terkait dengan statusnya sebagai terdakwa dalam kasus penistaan agama. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa pemberhentian sementara Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dilakukan oleh Presiden.
Selain itu, pihak yang dituju (Presiden) juga diminta agar tindakan kriminalisasi terhadap ulama oleh pihak kepolisian, sebagaimana diadukan GNPF MUI ke DPR RI, dapat dihentikan. Sebab hal ini, menurut mereka, akan meminimalisir penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan dapat menyelenggarakan peradilan yang adil (fair trial).
Selanjutnya, DPR RI juga meminta kepada pihak kepolisian untuk menghentikan penangkapan dan penyelidikan mahasiswa yang dinilai tanpa dasar hukum yang jelas itu. Ini demi menjaga ketentraman dan keamanan negara.
Keempat, pihak kepolisian (Bareskrim Polri) juga diminta untuk menghentikan proses pemeriksaan Bachtiar Nasir dan M. Lutfie Hakim selaku Ketua dan Bendahara GNPF MUI atas kasus Tindak Pidana Pencucian Uang. Alasannya, yakni dasar hukum yang digunakan tidak sesuai dengan fakta, dengan kata lain, tidak adanya pengalihan kekayaan Yayasan Keadilan untuk Semua kepada pengurus, pengawa, dan Pembina.
Pihak pengadu juga menilai bahwa tidak ada delik aduan dari para donator sebagaimana tercantm dalam laporan polisi sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Mereka menilai bahwa proses hukum terhadap kasus ini terkesan tergesa-gesa dan bernuansa politi di mana Laporan Penyidik, Surat Perintah Penyidikan dan Surat Panggilan Saksi dibuat pada hari yang sama, yakni tanggal 6 Februari 2017.
Yang terakhir, surat tersebut juga meminta kepada kepolisian untuk menghentikan penyelidikan dan penyidikan oleh Polda Bali terhadap Juru Bicara FPI Munarman, yang dalam kasus ini berstatus sebagai Panglima Aksi GNPF MUI yang dijeart dengan Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45a ayat 2 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, dan Pasal 156 KUHP terkait protes pemberitaan Kompas Group yang dianggap menyudutkan umat Islam.
Bagi mereka, proses hukum terhadap Munarman ini melanggar asas locus delicti, sebab tidak ditangani oleh kepolisian yang membawahi wilayah tersebut, dalam hal ini Kepolisian DKI Jakarta. (ms)