JAKARTA, SUARADEWAN.com – Menguatnya gerakan Hizbut Tahrir (HT) di Indonesia, memaksa segenap pihak untuk mencari cara peredamannya. Tak hanya pemerintah yang berupaya keras, mayoritas masyarakat yang cinta Indonesia pun berpikir keras untuk setidaknya menawarkan solusi-solusinya.
Salah satu penulis bernama Yon Bayu ikut memberikan tawaran solusinya. Oleh karena kuatnya gerakan HT akhir-akhir ini, hingga dalam upaya peredamannya justru menuai hal sebaliknya, maka ia (Yon Bayu) maka tiga cara yang ditawarkan itu jadi relevan.
Pertama, menurutnya, membuat alas hukum yang setara dengan undang-undang pelarangan partai, ormas, dan gerakan lainnya yang menggunakan asas selain Pancasila. Hal ini merujuk pada yang sebelumnya juga diterapkan di masa rezim Orde Baru Soeharto.
“Berkaca pada perdebatan saat pembuatannya, maka merevisi UU No. 17 Tahun 2013 dengan tujuan untuk mengganti frasa ‘Asas ormas tidak bertentangan’ menjadi ‘Ormas harus berasaskan’ Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” terang Yon Bayu di tulisannya berjudul Salah Kaprah Hizbut Tahrir, di-publish pada Sabtu (6/5/2017).
Memang, UU No. 17/2013 tentang ormas tersebut sama sekali tidak mengharuskan ormas untuk menganut asas Pancasila. Di Pasal 2 itu hanya menyebutkan: Asas ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi, jika benar HT Indonesia mencantumkan asas Islam, lanjutnya, dan kemudian dijadikan sebagai alasan pembubarannya karena dianggap melanggar Pasal 2 tersebut, pertanyaannya, benarkah asas Islam yang dimaksud itu bertentangan dengan Pancasila?
“Tentu diperlukan kajian mendalam untuk mendapatkan jawabannya, tidakbisa hanya berdasarkan satu dua kasus,” imbuh Yon Bayu.
Dan lebih tidak tepat lagi, lanjut Bayu, jika pemerintah menggunakan Pasal 3 yang berbunyi: Ormas dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita ormas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Sebab bunyi pasal ini tidak mengharuskan setiap ormas mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-citanya. Artinya, sepanjang HT Indonesia tidak mencantumkan kehendak untuk mengubah Pancasila sebagai dasar negara, penggunaan Pasal 3 sebagai landasan pembubaran (menjadi) tidak sahih,” lanjutnya.
Karenanya, mengganti frasa di atas terbilang tepat. Ya, meski terkesan akan sulit diwujudkan karena akan dipenuhi perdebatan-perdebatan yang masif dan lama.
Cara kedua, lanjut Bayu, adalah dengan membatasi ruang gerak HT dengan alasan-alasan yang spesifik dan dilokalisir.
“Fokus saja pada isu khilafah, tidak perlu melebar pada isu-isu lain yang justru berpotensi menyinggung pihak lain yang tidak ada kaitannya dengan gerakan politik HT tetapi memiliki kesamaan akidah,” lanjutnya.
Tawaran kedua ini penting mengingat pelarangan ormas di negeri ini terkadang justru malah mengutkannya. Lihat saja misalnya kasus perseteruan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Front Pembela Islam (FPI).
“(Bukankah) akhirnya Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan, FPI bukan saja gagal diberangus, tetapi justru semakin kuat,” terangnya kembali mencontohkan fakta-fakta yang pernah terjadi.
Meski kemudian pemerintah tak mampu merevisi UU ormas, bahkan dengan menggunakan dasar penerbitan Perppu, tetapi sudah kebelet ingin membubarkan HT Indonesia, maka tawaran ketiga yang diajukan Bayu adalah membubarkan segera HT dengan fakta-fakta pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Bahwa nantinya akan timbul kontroversi, perdebatan, tetapi jika pembubaran sudah dilakukan, pemerintah tentunya bisa mencari alas pembenar yang kuat, termasuk dukungan dari masyarakat. Jangan hanya dijadikan wacana yang akhirnya justru semakin menguatkan posisi tawar HT Indonesia,” tegas Bayu.
Berdasarkan paparan di atas, penulisnya menyadari bahwa sulit memang untuk membubarkan HT Indonesia. Karena, jika sampai adalah kesalahan dalam mengolah isu ini, bukan tidak mungkin bahwa yang terjadi adalah upaya tersebut justru menjadi pupuk yang menyuburkan HT Indonesia.
“Selip lidah, menyamakan aspirasi HT sebagai sebuah entitas politik, dengan Islam sebagai sebuah agama bisa berakibat fatal karena akan menyakiti seluruh umat Islam,” tutupnya mengingatkan. (ms)