JAKARTA, SUARADEWAN.com — Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menilai vonis yang diberikan kepada mayoritas koruptor, masih terbilang ringan. Lalola menyebut, sepanjang 2017, rata-rata besaran putusan pengadilan untuk seorang terdakwa korupsi hanya di kisaran dua tahun dua bulan penjara.
“Putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi pada tahun 2017 masih sangat mengecewakan,” kata Lalola di Kantor ICW, Jalan Duren Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (3/5).
Tak hanya 2017, ICW mencatat, 479 koruptor divonis ringan pada 2016. Begitu pula untuk 392 koruptor lainnya di 2015. Menurut Lalola, Pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menjadi musababnya.
“Di mana (pasal), pidana minimal yang terdapat pada kedua pasal tersebut adalah 4 tahun dan 1 tahun,” cetusnya.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengatur perbuatan kepada setiap orang yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dan korporasi sehingga dapat merugikan keuangan negara. Mereka dipidana dengan pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Adapun, Pasal 3 menyebutkan, setiap orang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan dalam jabatannya, serta turut merugikan keuangan negara, terancam pidana penjara minimal satu tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Lalola menyarankan, pengadilan di Indonesia memiliki pedoman tertentu dalam menjatuhkan vonis untuk koruptor. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan untuk menimbulkan efek jera dan menghindari subjektivitas.
“Seluruh jajaran pengadilan harus memiliki kesamaan pandangan bahwa hukuman koruptor kasus luar biasa karena korupsi adalah kejahatan luar biasa,” tuturnya.