JAKARTA, SUARADEWAN.com – Kabar kedatangan Raja Salman ke Indonesia tak sedikit menjadi pusat perhatian masyarakat belakangan ini. Dari soal kehebohan rombongan yang akan dibawa serta, elitnya sejumlah persiapannya selama tinggal di Indonesia, sampai yang terpenting adalah tujuan tur akbar selama kurang lebih 9 (sembilan) hari ini.
Seperti dijadwalkan, penguasa Arab Saudi ini rencananya akan tinggal di Indonesia dari tanggal 1 – 9 Maret 2017. Rombongan yang ikut serta di dalamnya berjumlah sekitar 1.500 orang, termasuk para pangeran. Mereka akan tinggal di Jakarta selama empat hari, dan sisanya akan dihabiskan sebagai wisatawan di Pulau Dewata Bali.
Dari rencana kunjungannya ke Jakarta, Raja Saudi yang bernama lengkap Salman bin Abdulaziz al-Saud ini akan membicarakan sejumlah agenda besar bagi keberlangsungan masa depan Indonesia-Arab Saudi. Bersama pemerintah Indonesia Presiden Joko Widodo, mereka akan membincang beragam hal, mulai dari aspek polik, ekonomi, sampai dengan isu-isu pertahanan/keamanan kedua negara.
Kunjungan Bersejarah
Menurut Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar al-Habsy, kunjungan Raja Salman ini merupakan kesempatan yang langka dan bersejarah. Karenanya, ia mengapresiasi kinerja pimpinan DPR RI yang mempersiapkan penyambutan kedatangan sang penjaga dua kota suci Islam ini dengan persiapan yang sangat matang.
“Sepertinya pimpinan ingin memberikan sambutan terbaik untuk Raja Salman, mengingat ini merupakan kunjungan yang bersejarah, kesempatan yang langka dan opourtunity yang bagus buat Indonesia. Oleh karena itu, Setya Novanto dan pimpinan lain sangat memperhatikan detail persiapannya, mulai dari tangga bahkan kursi yang dipakai,” terang Aboe, Senin (27/2/2017).
Memang tidak berlebihan jika kunjungan Raja Salman ke Indonesia ini dipandang sebagai kunjungan langka dan bersejarah. Seperti diketahui, Raja Salman adalah penguasa Arab Saudi kedua yang berkunjung ke Indonesia setelah Raja Faisal Ibn Abdulaziz al-Saud pada 47 tahun silam.
Ya, Raja Faisal berkunjung ke Indonesia pada Rabu, 10 Juni 1970. Kedatangannya disambut baik oleh Presiden Seoharto dan Ibu Negara Tien Soeharto di Istana Merdeka Jakarta kala itu.
Tentang kunjungan Raja Faisal ini, semuanya diungkap dalam Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968 – 23 Maret 1973 yang ditulis oleh Tim Dokumentasi Presiden RI.
Wisata Politik
Dalam analisis Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI) Abdul Muta’ali, kunjungan Raja Salman ini dinilai akan membawa agenda politik yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika terbaru yang terjadi di kancah internasional. Dari rencana tur akbar ini, tampak terlihat bahwa Kerajaan Arab Saudi agaknya mulai memandang bahwa Amerika Serikat bukan lagi “teman sejati” satu-satunya yang bisa diharapkan.
“Saat ini sangat sulit bagi Saudi menjadi AS sebagai special friend. Masalahnya bukan hanya karena Trump effect,” ujar Pakar Kajian Timur Tengah itu, Senin (27/2/2017).
Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump memang dikenal akan kebijakan kontroversialnya, terlebih sikap politiknya terhadap negara-negara berpenduduk muslim, termasuk terhadap Indonesia maupun Arab Saudi sendiri.
Meski demikian, dalam pengamatan Abdul, geliat ekonomi di negara-negara Asia-lah yang kemudian menjadikan Amerika Serikat tidak lagi menjadi satu-satunya kekuatan di dunia di mata Kerajaan Arab. Bahwa ada kekuatan-kekuatan baru lainnya di Timur Jauh selain Indonesia, seperti Malaysia, Brunei, Jepang China, Maladewa, dan Yordania, yang juga akan menjadi destinasi “wisata politik” Raja Salman selanjutnya.
“Geliat ekonomi Asia yang perlahan tapi pasti itu mengagetkan bukan hanya Amerika, tapi juga Eropa,” tandas Abdul.
Di samping itu, Arab Saudi juga dipandang tengah mempertimbangkan problem gejolak peperangan di Timur Tengah. Konflik di Suriah ternyata lebih rumit daripada yang diperkirakan. AS dipandang Saudi semakin sulit diandalkan karena AS justru malah sibuk dengan masalah negaranya sendiri.
“Sebanyak 34 aliansi militer di bawah komando Riyadh (Saudi) tampaknya belum ampuh menggetarkan pemerintahan Bashar al-Assad, yang ditopang oleh Teheran dan promotornya, Rusia,” tambah Abdul.
Jadi, ada tegangan antar-kubu dalam konflik di Timur Tengah. Namun Indonesia di bawah komando Presiden Jokowi, tetap mempertahankan politik bebas aktif, suatu prinsip politik yang sudah ada sejak Republik ini didirikan—gerakan “non-blok” dalam istilah Soekarno.
“Di sinilah permainan ciamik politik internasional Indonesia diperlihatkan. Indonesia yang dipimpin Jokowi bermain cukup cantik dengan tidak bergabung dengan aliansi militer tersebut (blok Iran-Rusia maupun blok Saudi-Amerika). Saya melihat Saudi mencoba meminang Indonesia agar keluar dari politik bebas aktifnya,” tilik Abdul.
Harapan Abdul sendiri, dengan adanya kunjungan Raja Salman ini, Jokowi mampu memanfaatkannya sebaik mungkin.
“Jokowi bisa memainkan dua peran sekaligus. Kepentingan politik pemerintahannya dan tentunya kepentingan nasional Indonesia sendiri,” terangnya.